Minggu, 01 Januari 2017

Tafsir Muqarran



BAB I
PEMBAHASAN
A.    TAFSIR MUQĀRAN
1.      Pengertian Tafsir Muqāran
Kata Muqāran berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata Qarana-Yuqarinu-Muqāranatan, secara bahasa arti dari definisi tersebut adalah perbandingan. Sedangkan  secara secara terminologis  menafsirkan sekelompok ayat al-Qur’an atau suatu surah tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, antara ayat dengan hadis Nabi saw, dan antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan.[1]

Dari definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tafsir Muqāran adalah metode tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dengan cara perbandingan atau biasa juga disebut dengan metode komparatif (metode perbandingan).
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqâran adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama.[2]
Termasuk dalam obyek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur'an dangan Hadits Nabi saw yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Bersandar pada karya Ahmad al-Sayyid al-Kûmî, al-Tafsîr al-Maudhû`î, 'Abd Al-Hayy al-Farmâwi juga mengungkapkan definisi yang senada, namun ditambahkan bahwa perbandingan juga bisa dilakukan lintas kecenderungan penafsir, seperti membandingkan penafsiran mereka yang dipengaruhi oleh semangat kesyi'ahan, ketashawwufan, kemu`tazilahan, keas`ariyahan, dan selainnya, serta kecenderungan yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang dikuasai seorang penafsir.[3]
Para ahli tafsir tidak berbeda pendapat mengenai metode ini. Dari berbagai literatur dapat dirangkum bahwa yang dimaksud  dengan metode Muqāran (kompratif) ini ialah:
a.       Membandingkan teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam dalam satu kasus yang sama atau diduga sama.
b.      Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadis Nabi saw  yang  pada lahirnya antara kedua-nya terlihat bertentangan.
c.       Membandingkan berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[4]
2.      Sejarah Perkembangan Tafsir Muqāran
Setiap  metode-metode  yang  di  gunakan  dalam  menafsirkan  ayat-ayat  Al-Qur’an  memang  telah  tercover dalam  sejarah  islam, sebagaimana  yang  telah  di  gambarkan  al-Farmawi  tentang  bentuk-bentuk  penafsiran  tersebut  di  antaranya  yaitu:  Tafsir  Ijmali,  Tafsir  Tahlili,  Tafsir  Maudhū’ῑ,  dan  Tafsir  Muqāran.
Dalam  sejarah,  usaha-usaha  dalam  menafsirkan  ayat-ayat  Al-Qur’an  terjadi  seiring  dengan  perkembangan  agama  Islam,  yang  di  mulai  sejak  zaman  Nabi  Muhammad SAW.  Ini  terbukti  dengan  adanya  Nabi  Muhammad  sebagai  mufassir  yang  menjelaskan  setiap  ayat-ayat  Al-Qur’an  kepada  para  sahabat  yang  masih  bingung  dalam  memahami  kandungan  makna  pada  setiap  ayat-ayat  Al-Qur’an.
Penafsiran-penafsiran  yang  di  lakukan  Nabi  Muhammad  ini  memiliki  sifat-sifat  dan   karakteristik  tertentu,  di  antaranya  penegasan   makna  (bayan  Al-Takid),  perincian makna (bayan  Tafshil), perluasan dan  penyempitan  makna,  serta  pemberian  contoh.  Sedangkan  dari  segi  motifnya  tafsiran  Nabi  Muhammad  terhadap  ayat-ayat  Al-Qur’an mempunyai  tujuan-tujuan  pengarahan  (bayan  Irsyad),  peragaan  (Tathbia),  pembenaran (bayan  Tashih).
Setelah  sepeninggal  Nabi  Muhammad SAW,  kegiatan  penafsiran  ayat-ayat  Al-Qur’an tidak berhenti malah  boleh  jadi  semakin  meningkat  munculnya  persoalan-persoalan  baru  seiring  dinamika  masyarakat  yang  progresif.
3.      Cara Kerja Penerapan Metode Tafsir Muqāran
Sebelum menerapakan bagaimana cara kerja metode tafsir Muqāran maka kita mesti mengetahui aspek-aspek apa saja yang ada didalamnya agar pengaplikasianya berjalan  dengan baik serta tidak menyalahi aturan yang sudah ada. Ada tiga aspek yang menjadi kajian utama dalam metode tafsir Muqāran, yaitu:
  1. Membandingkan penafsiran ayat dengan ayat dari berbagai segi.
Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik dalam pemakaian mufradat, urutan kata, maupun kemiripan redaksi. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat, biasanya mufassirnya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri.[5]
Dalam membahas perbedaan-perbedaan itu, para mufassir harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan seperti latar belakang turunnya ayat tidak sama, pemakaian kata dan susunannya di dalam ayat berlainan, serta konteks masing-masing ayat, situasi dan kondisi umat ketika ayat tersebut turun.
Quraish Shihab mempraktikkan penggunaan metode muqâran dengan membandingkan dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu ayat 126 Surat Ali `Imrân dengan ayat 10 Surat al-Anfâl.
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ.
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu, dan agar tenteram hati kamu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah Yang Maha Perkasa labi Maha Bijaksana".
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى  وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu karenanya menjadi tenteram. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Perbedaan antara ayat pertama dan ayat kedua adalah: Pertama, dalam surat Ali 'Imrân dinyatakan بشرى لكم  sedangkan dalam surat al-Anfâl tidak disebutkan kata لكم. Kedua, dalam surat Ali 'Imran dinyatakan ولتطمئن قلوبكم به  yakni menempatkan kata به setelah قلوبكم  sedang dalam surah al-Anfâl kataبه  diletakkan sebelum قلوبكم. Ketiga, surah Ali 'Imrân ditutup dengan وماالنصر الا من عند الله العزيزالحكيم  tanpa menggunakan kata إن sedang surat al-Anfâl ditutup dengan menggunakan إن yang berarti "sesungguhnya", إن الله عزيز حكيم  Ayat al-Anfâl disepakati oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang turunnya malaikat pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks janji turunnya malaikat dalam Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak jadi turun karena kaum muslimin tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang ditetapkan Allah ketika menyampaikan janji itu.
       Perbedaan redaksi memberi isyarat perbedaan kondisi kejiwaan dan pikiran lawan bicara, dalam hal ini kaum muslim. Pada Perang Badar, kaum muslim sangat khawatir akibat kurangnya jumlah pasukan dan perlengkapan perang. Berbeda dengan Perang Uhud, jumlah mereka lebih banyak +-sekitar 700 orang, sehingga semangat menggelora ditambah keyakinan akan turunnya bantuan malaikat sebagaimana pada Perang Badar. Tidak ditemukannya kata لكم  pada ayat kedua mengisyaratkan kegembiraan yang tidak hanya dirasakan oleh pasukan Badar, tapi semua kaum muslimin karena bukankah kemenangan pada perang itu merupakan tonggak utama kemenangan Islam di masa datang? Di ayat pertama, penggunaan kataلكم  mengisyaratkan bahwa berita gembira hanya ditujukan kepada yang hadir saja, itupun dengan syarat-syarat.
       Didahulukannya به  atasقلوبكم  dalam surat al-Anfâl adalah dalam konteks mendahulukan berita yang menggembirakan untuk menunjukkan penekanan dan perhatian besar yang tercurah terhadap berita dan janji itu. Berbeda dengan surat Ali 'Imrân, konteks ayat itu tidak lagi memerlukan penekanan karena bukankah sebelumnya hal itu sudah pernah terjadi pada Perang Badar?. Itu pula sebabnya dalam surat Ali 'Imrân tidak dipakai kata إن sebagai penguat karena, sekali lagi, ia tidak diperlukan.[6]
  1. Membandingkan segi kandungan ayat dengan hadis Nabi saw
Dalam aspek ini tentunya yang sepadan untuk dibandingkan dengan ayat al-Qur'an adalah hadits yang berkualifikasi shahîh, sehingga hadits dha`if tidak perlu dijadikan perimbangan dengan ayat al-Qur'an. Salah satu contoh adalah Firman Allah SWT yang agaknya bertentangan dengan hadis nabi Muhammad Saw dalam surah An-Naml ayat 22-23 dan surah Saba ayat 15 yang berbunyi:
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ(٢٢) إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (٢٣)
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (١٥)
Dengan sebuah hadis yang berbunyi:
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ : قَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلُ مَعَهُمْ. بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ مَلَّكُوا عَلَيْهِمُ ابْنَةَ كِسْرَى. فَقَالَ :« لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْهَيْثَمِ.
Artinya: "Tidak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita."
Jika diperhatikan secara sepintas, teks hadits di atas bertentangan dengan kedua ayat terdahulu karena al-Qur'an menginformasikan keberhasilan Ratu Balqis memimpin negaranya, Saba'. Sebaliknya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan ketidaksuksesan sebuah negara (manapun) yang diperintah oleh perempuan. Dengan demikian, perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang dengan laki-laki. Padahal  kecuali Balqis sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh perempuan yang sukses memimpin negara, semisal Syajarat al-Durr, pendiri kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M).[7]
Untuk mengkomparasi dan mengkompromikan kedua teks tersebut diperlukan kepastian akan kualifikasi hadits tersebut karena ayat tidak diragukan lagi keotentikannya. Setelah itu dilihat asbâb al-wurûd hadits tersebut. Pada kasus hadits ini, asbâb al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah mendengar berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu menggantikan ayahnya yang mangkat. Berdasarkan itu, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa perempuan tidak pas memimpin negara muncul ke permukaan. Namun jika dipakai kaidah العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب maka akan dijumpai pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah itu terhadap hadits tersebut, maka akan ditemui bahwa kata قوم  - امراة  dibentuk dalam format nakirah (indefinite). Itu berarti bahwa yang dimaksud oleh kata-kata itu adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua urusan. Jadi, terjemahan dari hadits tersebut (kira-kira) berbunyi: "Suatu bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)". Jika dipahami demikian, maka jelas bahwa sangat wajar kalau suatu bangsa tidak akan sukses kalau semua bidang yang ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak oleh perempuan tanpa sedikit pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan terjalin kerja sama yang baik.
c.       Membandingkan pendapat-pendapat para ulama tentang penafsiran-penafsiran yang telah mereka lakukan.
Dalam aspek ini yang menjadi pembahasan bukan sekedar perbedaanya saja, melainkan argumentasi masing-masing penafsir, bahkan mencoba mencari apa yang melatarbelakangi perbedaan itu dan berusaha pula menemukan sisi-sisi kelemahan dan kekuatan masing-masing penafsir.
Langkah Muqāran seperti ini penting dilakukan, mengingat bahwa khazanah tafsir al-Qur’an itu banyak sekali, terutama dari segi coraknya. Dengan mengumpulkan pendapat-pendapat ulama dari berbagai corak dan berbagai disiplin ilmu, tentu akan menghasilkan  suatu penafsiran yang lebih mendekati kebenaran dibanding hanya memegang satu pandangan saja tanpa menguji dan melihat pandangan-pandangan penafsir yang lain. Disinilah tampak keunggulan tafsir Muqāran dibanding dengan pendekatan-pendekatan lainnya.[8]
4.      Kelebihan Dan Kekurangan
Seperti pendekatan dan metode tafsir lainya, pendekatan tafsir al-Muqāran pun tidak bisa terlepas dari kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode tafsir ini adalah bersifat objektif, kritis dan berwawasan luas[9]. Sedangkan kelemahanya adalah metode Muqāran tidak dapat diberikan kepada pemula, seperti mereka yang belajar tingkat menengah ke bawah. Hal ini disebabkan pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang terlalu ekstrim, konsekuensinya tentu akan menimbulkan kebingungan bagi mereka bahkan mungkin bisa merusak pemahaman mereka terhadap Islam secara universal.

B.     TAFSIR MAUDHŪ’ῑ
1.      Pengertian Tafsir Maudhū’ῑ
Kata maudhū’ῑ berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti maudhū’ῑ  yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudhū’ῑ berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul atau topic atau sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhū’ῑ yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan, dipalsukan, dibuat-buat.[10] Adapun pengertian tafsir maudhū’ῑ (tematik) ialah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetatpkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji  secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait denganya, seperti asbab al-nuzul, kosakata dan sebaginya.[11]
2.      Sejarah Tafsir Maudhui
Dasar-dasar tafsir maudhū’ῑ telah dimulai oleh Nabi Muhammad SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh al-Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhū’ῑ dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surat digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhū’ῑ berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun 1960. Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad: al-Insan fî al-Qur’an,al-Mar’ah fî al-Qur’an, dan karya Abul A’la al-Maududi: al-Riba fî al-Qur’an.[12]
Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surat al-Qur’an, Zarkashi (745-794 H/1344-1392 M), dengan karyanya al-Burhan, misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surat demi surat. Demikian juga Suyuti (w. 911 H/1505 M) dalam karyanya al-Itqan.
Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surat al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek ataupun topik.
3.      Langkah-Langkah Menerapkan Metode Tafsir Tematik
Langkah-langkah metode tafsir maudhū’ῑ baru dimunculkan pada akhir tahun 1960 oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji secara maudhū’ῑ (tematik).
2)      Menghimpun seluruh ayat al-quran yang terdapat pada seluruh surat al-Qur'an yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat makkiyyat atau surat madaniyyat.
3)      Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu).
4)      Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily).
5)      Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline) yang mencakup semua segi dari tema kajian.
6)      Mengemukakan hadis-hadis Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadis-hadis itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari tema itu. Dikemukakan pula riwayat-riwayat (atsar) dari para sahabat dan tabi’in.
7)      Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan syair-syair mereka dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
8)      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Sedangkan  yang melakukan tafsir maudu’i dengan surat persurat menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Mengambil satu surat dan menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan surat tersebut, sebab-sebab turunnya dan bagaimana surat itu diturunkan (permulaan, pertengahan ataupun akhir, madaniyat atau makkiyat, dan hadis-hadis yang menerangkan keistimewaanya).
2)      Menyampaikan pengertian dari tujuan mendasar dalam surat dan membahas mengenai terjadinya nama surat itu.
3)      Membagi surat (khusus untuk surat yang panjang) kepada bagian-bagian yang lebih kecil, menerangkan unsur-unsurnya (meliputi ‘am khas-nya, nasikh mansukh-nya, lafaz-nya dalam bahasa Arab dan lain-lain) dan tujuan masing-masing bagian serta menetapkan kesimpulan dari bagian tersebut.
4)      Menghubungkan keterangan atau kesimpulan dari masing-masing bagian kecil tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.
Sedangkan Menurut Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-mawdhu’i secara rinci menyebutkan ada tujuh langkah yang ditempuh dalam menerapkan metode tematik, yaitu:
1)      Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur’an  yang akan dikaji secara maudhui dibahas ( topik )
2)      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, baik ayat makiyah atau madaniyyah.
3)      Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menuurut kronologi masa turunnya disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunya ayat.
4)      Mengetahui  kolerasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing surahnya.
5)      Menyusun tema  pembahasan di dalam kerangka yang sesuai, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
6)      Melengkapi pembahasan dan uraian dengan  hadis bila dipandang perlu sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna.
7)      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang megandung pengertian serupa,  mengkompromikan antara pengertian yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), muthlak dan muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan atat nasikh dan mansukh sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadapsebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[13]
Sementara menurut Quraish Shihab, beliau menambahkan beberapa catatan yang perlu diperhatikan didalam menerapkan metode tematik. Antara lain adalah:
1)      Penetapan masalah yang dibahas. Walaupun metode ini dapat menampung semua masalah yang diajukan namun akan lebih baik apabila permasalahan yang dibahas itu diproritaskan pada persoalan yang langsung menyentuh dan dirasakan oleh masyarakat, misalnya petunjuk Al-Qur’an tentang kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan lain-lainnya. Dengan demikian, metode penafsiran semacam ini langsung memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di tempat tertentu pula.
2)      Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
3)      Kesempurnaan metode tematik dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma’tsur yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode tematik.[14]
Dari uraian di atas, baik yang dikemukakan oleh Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Abdul Hay Al-farmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama sependapat bahwa langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan metode tafsir tematik adalah menetapkan topik atau masalah yang akan dibahas kemudian menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan dan yang perlu dicatat topik yang dibahas diusahakan pada persoalan yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat agar Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dapat memberi jawaban terhadap problem masyarakat itu.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir yang menggunakan metode ini ialah:
1)      Untuk sampai pada kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran, hendaklah menyadari bahwa tidak bermaksud menafsirkan Al-Qur’an dalam pengertian biasa, tugas utamanya ialah mencari dan menemukan hubungan antara ayat-ayat untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan dilalah ayat tersebut
2)       Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak boleh menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek dari masalah itu harus dibahas dan semua rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan merasakan kedalaman (balaghah) Al-Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang harmonis diantara susunan ayat-ayat dan bagian-bagian dari Al-Qur’an.
3)      Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-angsur. Dengan memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping persyaratan lain, maka seorang penafsir akan terhindar dari kekeliruan, dibandingkan jika ia hanya melihat lafazhnya saja.
4)      Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan langkah-langkah yang sesuai dengan petunjuk metode ini, agar perumusan permasalahan nantinya tidak kabur.[15]
4.         Contoh-contoh
Salah satu contoh yang bisa memperjelas penerapan metode ini bisa dilihat pada bagaimana Al-Qur’an memerhatikan pemeliharaan (ri’ayah) terhadap anak yatim. Perhatian Al-Qur’an itu muncul sejak masa awal turun-nya ayat Al-qur’an sampai dengan wahyu lengkap dan sempurna.[16]
Periode mekkah (ayat makkiyah). Pada periode ini pemeliharaan anak yatim ditekankan kepada pemeliharaan dirinya serta tidak melakukan tindak kejahatan terhadap mereka, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Pembicaraan al-Qur’an tentang hal itu terdapat terdapat dalam empat surat yaitu, Al-isra ayat 34, Al-Fajr ayat 17, Al-bald ayat 14-15, Ad-Duha ayat 6 dan ayat 9.
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا(٣٤)
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa.”
كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ(١٧)
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.”
أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (١٤) يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ(١٥)
14.atau memberi Makan pada hari kelaparan, 15. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآَوَى(٦) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ(۹)
6.Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? 9. sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.
Periode madinah (ayat madaniyyah). Pada periode ini Al-Qur’an turun dengan ayat-ayatnya untuk memberikan berbagai pemecahan dan jawaban terhadap sekitar persoalan anak yatim, cara memelihara diri dan hartanya.
Berbagai ayat turun dengan tekanan.
1)      Perintah memelihara atau menjaga harta anak yatim, larangan mendekatinya kecuali dengan cara yang lebih baik, tidak boleh dikurangi sedikitpun serta harus diserahkan kepadanya pada saat dia sudah mampu.
Teknis pemeliharaan harta anak yatim tercantum dalam Surat al-Nisa’ ayat 2 yang berbunyi :
وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
2)      Membina akhlak serta mendidik anak yatim yang meliputi upaya membimbing dan mengarahkan mereka kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat dan memelihara serta memperingatkannya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk. Hal ini terungkap dalam Surat Al-Baqarah ayat 83 yang berbunyi :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
“Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.”
3)      Perintah menyantuni dan menyayangi anak yatim seperti tercantum dalam Surat al-Insan ayat 8 yang berbunyi :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.”
Perintah yang hampir sama juga diungkapkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 177, Surat Al-Baqarah ayat 125, Surat an-Nisa’ ayat 8, Surat al-Anfal ayat 41 serta al-Hasyr ayat 7[17]
5.      Kelebihan Dan Kekurangan
Metode tafsir Maudhū’ῑ mempunyai beberapa kelebihan. Yang terpenting  ialah bahwa metode ini penafsirannya bersifat luas, mendalam, tuntas sekaligus dinamis. Adapun kelemahannya antara lain sama dengan tafsir al-muqarran, yakni tidak dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan dengan metode tahlili dan ijmali.[18] Beberapa keistimewaannya yang lain yaitu:
1)      Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi.
2)       Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan metode ini juga dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya.
3)       Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilm pengetahuan dan masyarakat.[19]



[1] Abu al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), h. 45.
[2] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan,1996), h. 118.
[3] Abd. Hayy al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1994, h. 30-31.
[4]Nashruddin baidan, Metodologi penafsiran Al-Qur’an), (Yogyakarta: Pustaka pelajar , 2000), hlm. 65.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Dengan Metode Mawdhi’iy-Beberapa Aspek Ilmiah Tentang al-Qur’an, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an, 1986), h. 34.
[6] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 194-196.
[7]Nashruddin baidan, Metodologi  penafsiran Al-Qur’an), (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000), hlm. 94-100.

[8] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) h. 103.
[9]M. Zaenal Arifin, Pemetaan Kajian Tafsir (Perspektif Historis,  Metodologis, Corak, dan Geografis), (Kediri: STAIN Kediri Press, 2010),  Hal. 33-34.
[10] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini, (Kalam Mulia: Jakarta, 1990), hal. 83-84.
[11] Nashruddin baidan, Metodologi  penafsiran Al-Qur’an), (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000), hlm. 151.
[12] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Cet. Ke-XIX, (Bandung: Mizan, 1999) hlm.114.
[13] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2007) h. 76-77.
[14] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Ummat. (Bandung: Mizan, 1996),hlm. 116.

[15] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 296.
[16] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, h. 79.
[17] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, h. 79-81.
[18] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 394.
[19] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 117.

0 komentar:

Posting Komentar