Jumat, 23 Desember 2016

Makalah Ketersambungan Sanad


BAB I
PENDAHULUAN
Hadis Nabi adalah salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an karna hadis Nabi memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan Al-Qur’an, maka ulama hadis mulai zaman Nabi telah memberikan perhatian yang khusus terhadap hadis Nabi.
Ulama sangat besar perhatiannya kepada sanad hadis. Disamping juga matn hadis. Hal ini terlihat, sedikitnya, pada pernyataan-pernyataan ulama yang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadis, banyak karya tulis ulama berkenanan dengan sanad hadis, dan dalam praktek, apabila ulama menghadapi suatu hadis, maka sanad hadis merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus, dengan demikian, sanad hadis memiliki kedudukan yang sangat penting.


Sanad hadis memiliki kedudukan sangat yang sangat penting, sebab utamanya dilihat dari dua sisi, yaitu dilihat dari kedudukan hadis sebagai sumbar ajaran Islam dan dilihat dari sisi sejarah hadis. Dengan demikian sangatlah penting mengkaji mengenai sanad hadis, baik itu dalam segi persambungan sanad, kualitas periwayat hadis maupun tata cara penerimaan dan penyampaian hadis. Yang sedikit banyak akan dibahas dalam makalah ini.
Penulis merasa adanya kekurangan dalam pembuatan makalah ini, baik dari segi tekhnik penulisan, pengutipan, analisis dll dan penulis mengharapkan saran, kritik serta masukan agar makalah ini dapat diterima dan dipahami dengan baik sebagai sebuah ilmu yang kelak nantinya akan bermanfaat bagi kita semua. Amin

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Persambungan Sanad
Persambungan sanad atau disebut juga dalam bahasa arab yaitu اتصال السند adalah dua suku kata yang terdiri dari bersambung dan sanad, kedua-duanya memiliki pengertian yang berbeda. Bersambung (اتصال) berasal dari kata wa shala (وصل) yang memiliki arti sampai, berkelanjutan.[1] sedangkan sanad artinya adalah ikhbar (jalan untuk mengetahui) matan hadis. Sebagian ahli hadis yang lain menegaskan bahwa sanad adalah jalur atau silsilah yang menyampaikan seseorang kepada matan hadis atau dengan kata lain urutan beberapa nama yang meriwayatkan hadis dari satu orang kepada yang lain sehingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW.[2]
Jadi Ittisal al-Sanad atau ketersambungan sanad atau sanad bersambung yaitu tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh al-Mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatanya. Sanad bersambung juga di defenisikan sebagai sanad yang selamat dari keguguran,dengan kata lain bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.[3]
Persambungan sanad (ittishāl al-sanad)  menurut para ulama telah menjadi salah satu rumusan kaedah kesahihan sanad hadis. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya yang menjadikan acuan kesahihan hadis (sanad ataupun matan), rumusan yang dikemukakan oleh Ibnu al-Salāh, ataupun yang semakna dengannya, yaitu:
اَلْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ: فَهُوَ الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَن الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًا وَلاَ مُعَلَّلاً.
Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya dengan penukilan hadis dari (periwayat yang) adil (dan) dhābit dari (periwayat yang) adil dan dhābit (pula), (sampai jalur) terakhir (sanad)nya, dan tidak (mengandung) syāż dan ’illat[4]
Dari definisi diatas nampak jelas bahwa keshahihan sebuah hadis tidak lepas dari bersambungnya sanad, oleh karena itu kedudukan sanad hadis sangat penting dalam riwayat sebuah hadis. Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis nabi oleh seseorang, tapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita itu oleh ulama hadis tidak dapat disebut sebagai hadis.[5]
B.     Aspek Ketersambungan sanad
Tidak selalu terdapat keseragaman pendapat para ulama mengenai konsep kebersambungan sanad. Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah dua ulama hadits yang kitab haditsnya didaulat sebagai kitab hadis yang paling autentik dalam periwayatan hadits, namun demikian keduanya memiliki sedikit perbedaan pendapat berkaitan dengan kriteria ittishalu sanad.
Menurut Bukhari, sebuah sanad baru diklaim bersambung apabila telah memenuhi dua kriteria, yaitu, al-liqa, yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara murid yang mendengar secara langsung dari gurunya; kedua, al-mu’asharah, yakni terjadi persamaan hidup antara seorang guru dan muridnya, dengan kata lain sezaman.[6]
Berbeda dengan Muslim, yang memberikan kriteria ketersambungan sanad cukup pada kriteria mu’asharah, dengan alasan bahwa antara satu perawi dengan perawi berikutnya begitu seterusnya ada kemungkinan bertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara tempat tinggal mereka tidak terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat itu. Dengan demikian Muslim merasa cukup memberikan satu kriteria mu’asharah dengan keyakinan tersebut.
Namun demikian dari perbedaan kriteria tersebut bukan berarti Muslim tidak memperhatikan pertemuan antara perawi, Muslim juga memperhatikan hal tersebut meski tidak disampaikan secara eksplisit sebagaimana Bukhari.[7]
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa Bukhari lebih ketat persyaratannya dalam mengklaim sebuah hadits memiliki ketersambungan sanad dibanding Muslim, sehingga pantas saja dalam marotib kutub al-hadits kitab hadits yang disusun Bukhari (shahih Bukhari) menempati kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kitab hadits yang disusun oleh Muslim (shahih muslim).
Dalam mensyarati sebuah hadis yang dapat dinyatakan bersambung sanadnya tidak lepas pula pada keadaaan perawi yang mesti bersifat tsiqah dan antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sebuah sanad  benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahammul wa adâ’ al-hadîts.[8]
Syarat pertama dapat dilakukan dengan meneliti pribadi periwayat. Sedangkan untuk syarat yang kedua, paling tidak ada dua hal yang terkait dengan syarat tersebut, yaitu;
1.      Lambang-lambang metode periwayatan
Dalam penerimaan dan penyampaian suatu hadis diperlukan lambang-lambang periwayatan hadis. Lambang-lambang ini sangat terkait dengan proses tahammul wa adâ’. Proses tahammul wa adâ’ merupakan proses transmisi hadis antara guru dengan murid. Pada umumnya ulama membagi proses tersebut menjadi delapan macam, yaitu:
a.       al-Simâ`, yaitu seorang murid mendengarkan hadis dari gurunya, baik guru tersebut membaca dari tulisannya atau pun dari hafalannya, sama juga guru tersebut mendiktekannya atau tidak. Cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatannya dalam periwayatan hadis. Shîghat yang dipakai dalam metode ini di antaranya : سمعت, حدثنا, حدثنى, أخبرنا, قال لنا.[9]
b.      al-Qirâ’ah `alâ al-Syaikh, yaitu pembacaan murid kepada syaikh (guru) dengan cara menghafalnya dari lubuk hatinya atau dari kitab hadis yang dibaca olehnya. Apabila murid tersebut tidak membaca lewat hafalannya atau dari kitab yang berada di tangannya akan tetapi mendengarkan dari orang lain yang membacakan kepada syaikh, maka sesungguhnya disyaratkan kepada syaikh-nya agar benar-benar hafal apa yang dibacakan olehnya atau dimungkinkan bagi syaikh tersebut agar merujuk kepada kitab yang shahih yang dipegang oleh muridnya yang lain yang tsiqah.
c.       al-Ijâzah, yaitu sebuah perizinan syaikh kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang didengarnya atau dalam kitab hadis yang ditulisnya walaupun murid tersebut tidak pernah mendengar dari syaikh tersebut dan belum pernah membacakan hadis tersebut kepada syaikh-nya. Di antara lafadz dari al-ijâzah adalah:اجزت لك أن تروي عنى.
d.      al-Munâwalah, yaitu pemberian syaikh kepada muridnya sebuah kitab asli atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Lafadz-lafadz yang digunakan oleh periwayat dalam meriwayatkan hadis atas dasar al-munâwalah antara lain; أنبأنى, أنبأنا, ناولنى, dan ناولنا.
e.       al-Mukâtabah, yaitu sebuah tulisan seorang syaikh (guru) yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadis kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya (korespondensi). Contoh lafadz al-mukâtabah adalah إليك كتبته ما لك أجزت.[10]
f.       al-I`lâm merupakan pemberian sebuah kabar dari syaikh kepada muridnya bahwa sesungguhnya kitab ini atau hadis ini dari riwayat-riwayat syaikh tersebut atau dari hasih pendengaran (simâ`) syaikh tersebut dengan tanpa memberikan ijâzah secara langsung untuk memberikan ijin meriwayatkan hadis tersebut. Lafadz dari al-I`lâm yaitu أعلمنى فلان.[11]
g.      al-Washiyyah, yaitu sebuah penjelasan syaikh kepada muridnya ketika sedang bepergian atau menjelang ajal kematiannya dengan mewasiatkan kitab kepada seseorang yang jelas atau yang dikenal untuk meriwayatkan hadis yang ada di kitab tersebut. Lafadz al-Washiyyah yaitu أوصى الي فلان.
h.      al-Wijâdah, yaitu penemuan murid akan sebuah hadis yang ditulis oleh syaikh yang telah dia jumpai dan dia mengetahui bahwa hadis tersebut dari syaikh-nya atau belum berjumpa dengan syaikh akan tetapi murid tersebut berkeyakinan kalau hadis yang tertulis merupakan hadis yang shahih seperti menemukan sebagian hadis dalam kitab yang terkenal yang ditulis oleh orang yang terkenal. Lafadz al-Wijâdah yakni وجدت.
2.      Hubungan periwayat dengan metode periwayatannya
Keadaan periwayat dapat dibagi kepada tsiqah dan tidak tsiqah atau dha`îf. Dalam menyampaikan riwayat hadis, periwayat yang tsiqah memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya dapat dipercaya riwayatnya. Sedangkan riwayat yang tidak tsiqah dari segi akurasinya berada di bawah riwayat yang disampaikan oleh orang yang tsiqah.
Dalam hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas periwayat sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang menyatakan telah menerima riwayat dengan metode sami`nâ misalnya, walaupun metode itu diakui oleh ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang meyatakan lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah, maka informasi yang dikemukakannya tetap tidak dapat dipercaya.
Dengan uraian tersebut dapatlah dinyatakan bahwa untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, maka hubungan antara periwayat dan metode periwayatan yang digunakan perlu diteliti karena tadlîs masih mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh periwayat yang tsiqah.
Selain itu untuk mengetahui ketersambungan sanad dapat dilakukan pengeceken tahun kelahiran dan tahun wafat antara periwayat satu dengan periwayat terdekat serta pengecekan terhadap adanya hubungan guru dan murid. Hal ini dapat ditempuh dengan melihat biografi para perawi melalui kitab-kitab Rijâl al-Hadîs.
C.    Contoh  persambungan sanad
Hadis tentang etika memuji orang lain
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا أَبُو شِهَابٍ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلاً أَثْنَى عَلَى رَجُلٍ عِنْدَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُ « قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ « إِذَا مَدَحَ أَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ لاَ مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ إِنِّى أَحْسِبُهُ كَمَا يُرِيدُ أَنْ يَقُولَ وَلاَ أُزَكِّيهِ عَلَى اللَّهِ »[12]
Diberitakan kepada kami Ahmad bin Yunus, diberitakan kepada kami Abu Syihab dari Khalid al-Hadza', dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari Abu Bakrah (abihi), bahwa suatu hari seseorang memuji orang lain dihadapan Rasulullah SAW. Mendengar pujian itu, Rasulullah SAW kemudian berkata kepada orang yang memuji: “Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (Rasulullah SAW mengulangi ucapannya itu sampai tiga kali). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, “Saya kira si fulan demikian kondisinya”.- Jika dia menganggapnya demikian −. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah.
·         Analisis ketersambungan sanad : Untuk mengetahui kualitas periwayatan dan persambungan sanad, dalam hadis tersebut, analisis penelitian akan dimulai dari Mukharrij al-hadis yaitu Imam Abu Dawud dan seterusnya sampai periwayatan pertama.
  1. Abu Dawud : Abu Dawud sebagai perawi ketujuh (mukharij) dengan sebuah lambang periwayatannya, yaitu hadatsana  yang memiliki arti bahwa metode yang dipakai adalah al-sama'. Maka antara Abu Dawud dengan Ahmad bin Yunus -sebagai gurunya terjadi persambungan sanad yang diperkuat dengan adanya lambang tersebut. Sebagaimana para kritikus menyatakan, lambang tersebut merupakan lambang dimana Abu Dawud mendengar langsung dari gurunya, yaitu Ahmad bin Yunus. Diantara keduanya dimungkinkan adanya mu'asarah dan liqa'. Dengan adanya interaksi Abu Dawud dengan gurunya, Ahmad bin Yunus. Maka, berdasarkan lambang periwayatan hadatsana periwayatan tersebut telah memenuhi kriteria hadis shahih. Dengan demikian tidak diragukan lagi adanya ketersambungan sanad diantara keduanya.
  2. Ahmad bin Yunus : Ahmad bin Yunus sebagai perawi keenam (sanad pertama) dalam jalur sanad Abu  Dawud, yang diketahui tahun lahirnya adalah 133 H dan wafat pada tahun 227 H. Sedangkan gurunya yang bernama Abu Syihab al-Kufy wafat tahun 172 H. dengan biografi tersebut dapat dinyatakan bahwa, keduanya pernah bertemu dan hidup semasa. Sedangkan pengukuh dari pernyataan tersebut, ialah dengan bentuk lambang yang diungkapkannya, yaitu akhbrana, berarti metode yang dipakai adalah al-Sama'. Dengan demikian Ahmad bi Yunus telah menerima riwayat langsung dari Abu Syihab al-Kufy, dan sanadnya dalam keadaan bersambung.
  3. Abu Syihab al-Kufy : Abu Syihab sebagai perawi kelima (sanad kedua) dalam jalur Abu Dawud, yang diketahui tahun wafatnya adalah 172 H. sedangkan gurunya yang bernama Khalid bin Mihran al-Hadza' wafat tahun 141 /142 H. ditinjau dari biografi mereka dapat dinyatakan bahwa Abu Syihab menerima riwayat dari Khalid bin Mihran al-hadza', kemungkinan keduanya pernah saling bertemu juga hidup semasa. Kritikus menilainya dengan tsiqah dan shaduq. Periwayatan yang digunakan oleh Abu Syihab al-Kufy adalah akhbrana, berarti metode yang dipakai adalah al-sama'. Dengan demikian Abu Syihab al-Kufy telah menerima riwayat langsung dari Khalid bin Mihran al-Hadza', dan sanadnya dalam keadaan bersambung.
  4. Khalid bin Mihran al-Hadza : Khalid bin Mihran al-Hadza' sebagai perawi keempat (sanad ketiga) dalam jalur sanad Abu Dawud, diketahui tahun wafatnya adalah 141/142 H. sedangkan gurunya, Abdurrahman bin Abi Bakrah lahir tahun 14 H dan wafat pada tahun 96 H. lambang periwayatan yang digunakan oleh Khalid adalah 'an, dengan menerima riwayat dari gurunya tersebut bisa dinilai bersambung, sebab selain dari sejarah biografi juga para kritikus memberi penilaian yang berupa tsiqah dan shaduq, tsubut. Para ahli hadis berpendapat bahwa lambang 'an, merupakan hadis mu'an'an. Hadis ini bisa dianggap bersambung, jika hadisnya tersebut selamat dari tadlis dan dimungkinkan adanya pertemuan dan semasa atau hanya semasa saja, sebagaimana syarat dianjurkan oleh Imam Muslim[13]. Adanya dua sarat yang ditegaskan oleh al-Bukhari dan Muslim serta bersihnya sifat tadlis dari Khalid bin Mihran al-Hadza', maka dengan demikian riwayatnya bisa diterima.
  5. Abdurrahman bin Abi Bakrah : Abdurrahman bin Abi Bakrah sebagai perawi ketiga (sanad keempat), yang diketahui bahwa tahun wafatnya 96 H. sedangkan gurunya wafat pada tahun 51/52 H. lambang periwayatan yang digunakan Abdurrahman bin Bakrah adalah 'an, dengan menerima riwayat dari gurunya tersebut bisa dinilai bersambung, sebab selain ditinjau dari sisi biografi juga para kritikus menilainya dengan tsiqah. Lambang 'an sebagaimana pendapat diatas, bahwa hadis mu'an'an apabila disempurnakan dengan adanya syarat liqa' dan mu'asarah serta selamat dari nilai tadlis, maka riwayatnya bisa diterima. Dan memang Abdurrahman bin Abi Bakrah selamat dari kritikus yang menilainya tadlis.
  6. Abi Bakrah : Abi Bakrah sebagai perawi pertama (sanad kelima) dalam struktur sanad Abu Dawud. Abi Bakrah merupakan sahabat Nabi SAW yang banyak meriwayatkan hadis. Dia tidak diragukan lagi dalam masalah periwayatan hadis, maka kritikus memberi penilaian tinggi. Abi Bakrah wafat tahun 51/52 H. ia termasuk golongan sahabat. Oleh karena itu ke-tsiqah-an perawinya tidak diragukan lagi. Abi Bakrah meriwayatkan hadis Nabi SAW dengan lafazh قال, maka sudah pasti periwayatannya dapat dipercaya. Sehingga ada hubungan antara beliau dengan Nabi SAW, dan tidak diragukan lagi diantara keduanya ada ketersambungan sanad (muttasil).
Demikianlah analisis penelitian kualitas perawi serta ketersambungan sanad. Secara keseluruhan perawi yang meriwayatkan hadis tentang etika memuji orang lain dalam Sunan Abu Dawud nomor indeks 4805 berkualitas tsiqah, shaduq dan ittishal. Keseluruhan nilai jalur Abu Dawud dapat dikatakan bersambung mulai dari mukharrij hingga sampai kepada informan pertama, yakni Rasulullah SAW.
D.    Kitab-Kitab Yang Digunakan Dalam Meneliti Ketersambungan Sanad
Banyak kitab yang disusun oleh para ulama yang digunakan untuk meneliti ketersambungan sanad sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Dr. Suryadi MA dan Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, M.Ag sebagai berikut:
Kitab-kitab yang membahas secara khusus biografi para sahabat Nabi di antaranya adalah: Marifah man Nazala min al-Sahabah Sair al-Buldan karya al-Hasan Ali ibn Abdullah al-Madani (w. 234. H). Usd al-Gabah fi Marifah al-Sahabah karya Izzudin Abd al-Hasan Ali Ibn Muhammad ibn al-Asir (555-630 H)
Kitab-kitab yang membahas periwayat hadits yang disusun berdasarkan tabaqat diantaranya adalah: Al-Tabaqat al-Kubra karya Abu Abdullah Muhammad Ibn Sad Katib al-Waqidi (w. 230 H). Tazkirah al-Huffaz karya Abu Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi (w. 748 H).
Kitab-kitab hadis yang membahas periwayat hadits untuk kitab hadis tertentu. Di antara kitab-kitab  tersebut adalah :  Al-Hidayah wa al-Irsyad fi ma’rifah ahli Tsiqah wa Sadad  karya Abu Nasr Ahmad ibn Muhammad  al-Kalabazi (w. 309 H). Kitab ini secara khusus membahas para perawi yang terdapat dalam kitab Sahih Bukhari. Tahzib al-Kamal karya al-Hafiz Abu al-Hajjaj Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi (w. 742 H). Tahzib al-Tahzib karya Abu Abdullah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Zahabi. Tahzib al-Tahzib karya ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadits yang tsiqah, dhoif lagi masih diperdebatkan. Di antara kitab-kitab yang masyhur adalah: Kitab al-Tsiqat  karya Abu al-Hasab Ahmad ibn Abdullah ibn Salih al-Jilli (w. 261 H). Kitab al-Tsiqat karya Muhammad ibn Ahmad ibn Hibban al-Busti (w. 354 H).  Al-Duafa al-Kabir  karya al-Bukhari.  Kitab al-Duafa karya Abu Jafar Muhammad ibn Amr al-Uqali (323 H). Al-Kamil fi Duafa al-Rijal karya Abu Ahmad Abdullah ibn Adi al-Jurjani (w.356 H). Mizan al-Itidal fi Naqd al-Rijal karya al-Zahabi. Lisan al-Mizan karya Ibn Hajar al-Atsqalani.
Kitab-kitab yang membahas periwayat hadits berdasarkan negara asal mereka, diantaranya adalah : Tarikh Wasit karya Abu al-Hasan Aslam ibn Sahl (w. 288H).   Mukhtasar Tabaqat Ulama Ifriqiyyah wa Tunis karya Abu Arab Muhammad Ahmad al-Qiruwani (w. 333 H). Tarikh al-Riqqah karya Muhammad ibn Saad al-Qusyairi. Tarikh Naisabur karya Muhammad ibn Abdillah al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H). Tarikh Baghdad karya Abu Bakr Ahmad ibn Ali ibn Sabit ibn Ahmad al-Baghdadi al-Khatib (w. 493 H). Tarikh Dimasyq karya Abu Al-Qasim Ali ibn al-Husain ibn Asakir al-Dimisyqi (w. 571 H).
Kitab-kitab yang membahas illah hadis :  Ilal al-Hadis karya ibn Abi Hatim al-Razi (w. 328 H).
Kitab-kitab yang ditulis berdasar nama-nama, kunyah-kunyah, laqab-laqab dan nasab-nasab, diantaranya adalah : Al-Asami wa al-Kuna karya Ali ibn Abdillah ibn Jafar al-Madini (w. 234 H).  Al-Kuna karya Abdul Rahman ibn Abi Hatim al-Razi. Al-Mutalif wa al-Mukhtalif fi Asma Naqalah al-hadits karya Abu Muhammad Abd al-Gani ibn Said al-Asadi al-Misri (w. 409 H). Al-Ikmal fi Raf al-irtiyab an al-Mutalif wa al-Mukhtaklif min al-Asma wa al-Kuna wa al-Ansab karya Abu Nasr Ali ibn Hibatillah ibn Jafar ibn Makul al-Baghdadi (w. 486 H). Ma Ittafaq min Asma al-Muhaddisin wa Ansabuhum Gaira Anna fi Badih Ziyadah Harf Wahid karya Abu Bakr Ahmad ibn Ali ibn Sabit al-Baghdadi (w.463 H). Al-Ansab al-Muttafaqah fi al-Khatt al-Mutamasilah fi al-Naqt wa al-Dabt karya Muhammad ibn Tahir al-Maqdisi (w. 507 H).  Al-Lubab karya Ali ibn Muhammad al-Syaibani al-jazari (w. 630 H).[14]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kriteria hadits sahih meliputi ketersambungan sanad, perawi yang adil dan dhabit, bebas dari syadz dan illat baik pada sanad ataupun matan.
Ketersambungan sanad adalah adanya keterkaitan antara satu periwayat dengan periwayat yang lain, baik itu dari segi penyampain ataupun penerimaan hadis agar sebuah hadis dapat diklaim benar-benar datang dari Nabi Muhammad SAW.
Ada beberapa langkah dalam meneliti ketersambungan hadis adalah diantaranya adalah dengan mencatat nama semua periwayat di dalam sebuah hadis lalu melihat biografi sejarah hidup mereka serta mengaitkan adakah keterkaitan diantara mereka seperti guru dan murid.
B.     Saran
Dalam melakukan penilitian ini kiranya betul-betul mendalami ilmu-ilmu berhubungan denganya seperti ilmu rijal hadis, ilmu jarh wa at ta’dil dan ilmu thabaqat agar mendapatkan suatu pengetahuan yang jelas dan tidak tersalah.




[1] Ahmad Warsono Munawwir, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya, Pustaka Progressy:1997), hlm.1562
[2] Abdul Karim Zaidan, Ulum al-Hadis, (Beirut: Muassasah Risalah al-Nâsyirun, Cet. l, 2008), hlm. 47.
[3] Facktur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, (Bandung:PT Alma’arif), hlm.117.
[4] Abū ‘Amr ‘Usmān bin ‘Abd al-Rahman Al-Syahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Shalāh fī ‘Ulūm al-Hadīs (Beirūt: Dār al-Kutub al-’Ilmiyah,1995), hlm. 15.
[5] M Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007),  cet 2, hlm 21.
[6] Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm.45.
[7]Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hlm 45-46.
[8] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 133.
[9] Shubhî al-Shâlih, Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-`Ulûm al-Malâyîn, 1988), hlm. 88-90.
[10] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, hlm. 247.
[11] Shubhî al-Shâlih, Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, hlm. 99.
[12] Abu Dawud Sulaiman al-Asy'ats al-Sijistany, Sunan Abu Dawud,  juz 3 (Bairut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1996), 259.
[13] Teungku Muhammad Habsi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1999),  hal 200.
[14] Suryadi, dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: TH Press, 2009), h 117-123.

0 komentar:

Posting Komentar