Jumat, 23 Desember 2016

MODEL PEMBELAJARAN MODIFIKASI TINGKAH LAKU

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Model Pembelajaran Modifikasi Tingkah Laku
Model merupakan “a way of thinking  about the processes of caring, and acting in a educational setting”. Model mengandung teori atau sudut pandang, cara berpikir tentang suatu process dari perhatian pertimbangan dan tindakan dalam tatanan pendidikan.[1]
Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau system lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsung proses belajar. Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan pada anak didik.[2]

Secara deskriptif mengajar di artikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru ke siswa atau dapat juga di katakan proses mentransfer ilmu.[3] Dari pengertian kedua kata model dan mengajar dapat diartikan bahwa model mengajar adalah suatu proses, cara, maupun pola  yang mempunyai tujuan meyajikan pesan kepada siswa yang harus diketahui, dimengerti, dan dipahami yaitu dengan cara membuat suatu pola atau contoh dengan bahan-bahan yang dipilih oleh para pendidik atau guru sesuai dengan materi yang diberikan dan kondisi di dalam kelas.
Dalam buku lain mengatakan bahwa model belajar adalah merupakan perencanaan pengajaran yang menggambarkan proses yang di tempuh pada proses belajar mengajar agar di capai perubahan spesifik pada prilaku siswa seperti yang di harapkan.[4]
Dengan demikian dilihat dari dua pengertian model mengajar dapat di tarik kesimpulan, bahwa model belajar adalah suatu proses atau cara yang di ciptakan untuk untuk menyampaikan informasi kepada siswa agar tercapai sebuah perubahan sesuai harapan.
Adapun bentuk pengertian dari modifikasi tingkah laku adalah apa yang orang lakukan. Perilaku di sini dimaksudkan dalam arti luas, termasuk perilaku terbuka yang mudah diamati, perilaku rahasia seperti pikiran yang umumnya disimpulkan dari apa yang orang memberitahu kita, berbagai emosi, dan aktivitas halus dari sistem saraf. Dalam semua kasus kita mendefinisikan perilaku seobjektif mungkin dalam batas-batas kepraktisan situasi dan batas-batas teknologi.
Modifikasi perilaku atau disebut behaviorisme secara umum dapat didefinisikan sebagai hampir segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku. Definisi yang tepat dari modifikasi perilaku adalah usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologis hasil eksperimen lain pada perilaku manusia.
Teori perilaku sering disebut stimulus-respon (S-R) psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia  dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan erat antaras reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya.[5]

B.     Karakteristik Modifikasi Perilaku
Terdapat empat ciri utama modifikasi perilaku, yaitu:
a.       Fokus pada perilaku (focuses on behavior)
Fokus pada perilaku artinya menempatkan penekanan pada perilaku yang dapat diukur berdasarkan atas dimensi-dimensinya, seperti frekuensi, durasi, dan intensitasnya. Karena itu metode modifikasi perilaku selalu mengamati dan mengukur setiap tahap perubahan sebagai indikator dari berhasil atau tidaknya program bantuan yang diberikan. Dalam modifikasi perilaku, akan menghindari label-label interpretatif dan sistem diagnostik (avoid interpretive labels and diagnostic systems), serta fokus pada perilaku yang berkekurangan atau yang berlebihan (focus on behavioral deficits or behavioral excess). Dalam modifikasi perilaku, mengkategorikan apakah suatu perilaku sebagai berlebihan atau kekurangan merupakan langkah yang mutlak, sehingga dapat dipahami secara pasti mana perilaku yang termasuk excesses atau berlebihan dan akan dikurangi atau yang termasuk deficit atau berkekurangan dan akan ditingkatkan.  
Modifikasi perilaku berfokus pada perilaku yang harus diubah. Seseorang yang perilakunya harus mendapatkan teknik modifikasi  perilaku adalah menunjukkan perilaku yang berbeda dari yang diharapkan di sekolah atau masyarakat dan  membutuhkan perbaikan.
Ada dua bentuk target perilaku dalam modifikasi perilaku:
·         Behavioral exceses adalah perilaku target yang negatif (tidak layak) yang ingin dikurangi frekuensi, durasi, atau intensitasnya, contohnya: perilaku merokok.
·         Behavioral deficit adalah aladah target perilaku yang positif (lanyak) yang ingin ditingkatkan frekuensi, durasi, atau intensitasnya, contohnya: perilaku gemar membaca.
b.      Menekankan pengaruh belajar dan lingkungan (emphasizes influences of learning and the environment)
Modifikasi perilaku juga menekankan pengaruh belajar dan lingkungan, artinya bahwa prosedur dan teknik tritmen menekankan pada modifikasi lingkungan tempat dimana individu tersebut berada, sehingga membantunya dalam berfungsi secara lebih baik dalam masyarakat. Lingkungan tersebut dapat berupa orang, objek, peristiwa, atau situasi yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap kehidupan seseorang.
c.       Mengikuti pendekatan ilmiah (takes a scientific approach)
Mengikuti pendekatan ilmiah artinya bahwa penerapan modifikasi perilaku memakai prinsip-prinsip dalam psikologi belajar, dengan penempatan orang, objek, situasi, atau peristiwa sebagai stimulus, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
d.      Menggunakan metode-metode aktif dan pragmatik untuk mengubah perilaku (uses pragmatic and active methods to change behavior)
Menggunakan metode-metode aktif dan pragmatik untuk mengubah perilaku maksudnya bahwa dalam modifikasi perilaku lebih mengutamakan aplikasi dari metode atau teknik-teknik yang telah dikembangkan dan mudah untuk diterapkan.

C.    Prinsip-Prinsip Dalam Modifikasi Perilaku
  1. Kebanyakan tingkah laku manusia adalah hasil belajarnya, karena itu dapat diubah dengan belajar.
  2. Target tingkah laku yang mudah diubah adalah tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Tingkah laku itu perlu dirinci dengan jelas indikatornya.
  3. Tingkah laku dapat diubah dengan memanipulasi kondisi belajar.
  4. Meskipun ada keterbatasan tertentu (pengaruh temperamen atau emosional), semua anak berfungsi lebih efektif , jika mengalami konsekuensi yang tepat.
-          Reinforcement merupakan konsekuensi yang memperkuat tingkah laku yang diinginkan.
-          Hukuman merupakan konsekuensi yg melemahkan tingkah laku yg tidak diinginkan.
  1. Tingkah laku seseorang dapat diatur, diubah dengan memberikan konsekuensi terhadap tingkah laku orang itu sendiri.

  1. Teknik Modifikasi Tingkah Laku
Pendekatan pengubahan tingkah laku didasarkan pada teori yang mantap, yaitu prinsip – prinsip psikologi behavioral. Pada dasarnya bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, baik tingkah laku yang di sukai maupun tingkah laku yang tidak disukai. Seorang melakukan tindakan menyimpang tersebut karena satu atau dua alasan, yaitu telah mempelajari tingkah laku yang menyimpang itu, atau belum mempelajari tingkah laku yang sebaiknya. Teknik-teknik pengubahan perilaku antara lain:
a.       Penguatan positif
Penguatan positif berupa memberikan stimulus positif, berupa ganjaran atau pujian terhadap perilaku atau hasil yang memang diharapkan, misalnya berupa ungkapan seperti “Nah seperti ini kalau mengerjakan tugas, tulisannya rapi mudah dibaca”. Jenis-jenis penguatan positif itu ada yang:
-          Penguatan primer (dasar) yaitu penguatan-penguatan yang tidak dipelajari dan selalu diperlukan untuk berlangsungnya hidup, seperti, makanan, air, udara yang segar dan sebagainya. Suasana seperti ini dapat membentuk perilaku siswa yang baik dan betah di dalam kelas
-          Penguatan sekunder (bersyarat) yang menjadi penguat sebagai hasil proses belajar atau dipelajari, seperti diperhatikan, pujian (penguat sosial), nilai angka, rangking (penguatan simbolik), kegiatan atau permainan yang disenangi siswa (penguatan bentuk kegiatan).
b.      Penghukuman
Penghukuman merupakan pemberian stimulus yang tidak menyenangkan untuk menghilangkan dengan segera perilaku peserta didik yang tidak dikehendaki. Tindakan hukuman dalam pergelolaan kelas masih bersifat kontroversial (dipertentangkan). Sebagian menganggap bahwa hukuman merupakan alat yang efektif untuk dengan segera menghentikan tingkah laku yang tidak dikehendaki, sekaligus merupakan contoh “yang tidak dikehendaki” bagi siswa lain. Sebagian lain melihat bahwa akibat sampingan dari hubungan pribadi antara guru (yang menghukum) dan siswa (terhukum) menjadi terganggu, atau siswa yang dihukum menjadi “Pahlawan” di mata teman-temannya.
Pendekatan penghukuman ini dianggap bermanfaat bila untuk segera menghentikan, menghilangkan penampilan tingkah laku yang tak disukai untuk segera dan sambil melaksanakan sistem penguatan yang tepat bagi kelayakan penampilan perilaku tertentu yang disukai.
c.       Penguatan Negatif
Penguatan negative adalah berupa peniadaan tingkah laku yang tidak disukai (biasanya berupa hukuman) yang selalu diberikan, karena seseorang yang bersangkutan telah meninggalkan tingkah laku yang menyimpang. Dengan demikian diharapkan tingkah laku seseorang yang lebih baik itu akan ditingkatkan frekuensinya.
Ada beberapa hal yang perlu memperoleh perhatian dalam mengimplementasikan pendekatan modifikasi perilaku teknik penguatan negative yaitu hindari pemberian stimulus yang menyakitkan, berikan stimulus secara bervariasi, berikan penguatan dengan segera, sasarannya jelas dan keantusiasan.
d.      Penghilangan
Penghilangan adalah upaya mengubah perilaku seseorang dengan cara menghentikan pemberian respon terhadap suatu perilaku peserta didik yang semula dilakukan dengan respon tersebut. Pengilangan ini menghasilkan penurunan frekuensi tingkah laku yang semula mendapat penguatan.
e.       Penundaan
Penundaan merupaan tindakan tidak jadi memberikan ganjaran atau pengecualian pemberian ganjaran untuk orang-orang tertentu. Penundaan seperti ini menurunkan frekuensi penguatan dan menurunkan frekuensi tingkah laku yang dimaksud itu.
E.     Teori-Teori Belajar Dalam Aliran Behaviorisme
  1. Ivan Petrovich Pavlov
Ivan Petrovich Pavlo atau lebih dikenal dengan nama singkat Pavlov, adalah seorang lulusan sekolah kependetaan dan melanjutkan belajar ilmu kedokteran di Militery Medical Acadeny, St. Petersburg. Pada tahun 1879, ia mendapatkan gelar ahli ilmu pengetahuan alam.[6]
Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing, Pavlov melihat selama penelitian ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan pada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walau pun tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika dihadapkan pada daging. Dalm percobaan ini, daging disebut dengan stimulus yang tidak dikondisikan (unconditionied stimulus). Dan karena salvia itu terjadi secara otomatis pada saat daging diletakkan di dekat anjing tanpa latihan atau pengkondisian, maka keluarnya salvia pada anjing tersebut dinamakan sebagai respon yang tidak dikondisikan (unresponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan salvia pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maka stimulus lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan selvia. Karena stimulus tersebut tidak menghasilkan respon, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Palvo, jika stimulus netral (bel) dipasngkan dengan daging dan dilakukan secara berulang, maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang dikondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing akan mengeluarkan selvia. Proses ini dinamakan classical conditioning.[7]
Bila ditelusuri, Pavlov yang pada saat ini meneliti anjingnya sendiri, melihat bahwa bubuk daging membuat seekor anjing mengeluarkan air liur. Maka yang dilakukan pavlvo adalah sebelum memberikan bubuk daging itu ada membunyikan bel terlebih dahulu. Setelah dilakukan beberapa kali pengulangan, maka anjing itu akan mengeluarkan air liurnya setelah mendengar bel berbunyi, meski tidak diberikan daging lagi. Dari percobaan yang dilakukan oleh Pavlov, dapat disimpulkan bahwa:
·         Anjing belajar dari kebiasaan.
·         Dengan pengulangan bunyi bel sehingga mengeluarkan air liur.
·         Bunyi bel merupakan stimulus yang akhirnya akan menghasilkan respon bersyarat.
·         Bunyi bel yang pada mulanya netral tetapi setelah disertai mediasi berupa bubuk daging, lama-kelamaan berubah menjadi daya yang mampu membangkitkan respon.
Berdasarkan hasil eksperimen itu Pavlov menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya juga dapat diterapkan pada manusia untuk belajar. Impilkasi hasil eksperimen tersebut pada belajar manusia adalah:[8]
·         Belajar adalah membentuk asosiasi antara stimulus respon secara selektif.
·         Proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.
·         Prinsip belajar pada dasarnya merupakan untaian stimulus-respon.
·         Menyangkal adanya kemampuan bawaan.
·         Adanya clasical conditioning.
Eksperimen Pavlov tersebut kemudian dikembangkan oleh pengikutnya yaitu BF. Skinner (1933) dan hasilnya dipublikasikan dengan judul Behavior Organism. Prinsip-prinsip kondisioning klasik ini dapat diterapkan di dalam kelas. Woolfolk dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007), menyatakan sebagai berikut:
·         Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar, misalnya menekankan kepada kerja sama, dan kompitisi antar kelompok individu. Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang baca yang nyaman dan enak serta menarik dan lain sebagainya.
·         Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya: mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran, membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
·         Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya, meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tiggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes akademik lainnya yang pernah mereka lakukan.
2.      Edward LeeThorndike
Edward Lee Thorndike adalah seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Edward awalnya melakukan penelitian tentang prilaku binatang sebelum tertarik pada psikologi manusia.[9] Dan pertama kali mengadakan eksperimen hubungan stimulus dan respon dengan hewan kucing melalui prosedur yang sistematis. Ekseperimennya yaitu: Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng (puzzle box) yang dilengkapi pembuka bila disentuh. Di luar diletakkan daging. Kucing dalam kerangkang bergerak kesana kemari mencari jalan keluar, tetapi gagal. Kucing terus melakukan usaha dan gagal, keadaan ini berlangsung terus-menerus. Tak lama kemudian kucing tanpa sengaja menekan tombol sehingga tanpa sengaja pintu kotak kerangkeng terbuka dan kucing dapat memakan daging di depannya.
Percobaan Thorndike tersebut diulang-ulang dan pola gerakan kucing sama saja namun makin lama kucing dapat membuka pintunya. Gerakan usahanya makin sedikit dan efisien. Pada kucing tadi terlihat ada kemajuan-kemajuan tingkah lakunya. Dan akhirnya kucing dimasukkan dalam box terus dpat menyentuh tombol pembuka (sekali usaha, sekali terbuka), hingga pintu terbuka.
Thorndike menyatakan bahwa prilaku belajar manusia ditentukan oleh stimulus yang ada di lingkungan sehingga menimbulkan respon secara refleks. Stimulus yang terjadi setelah sebuah prilaku terjadi akan mempengaruhi prilaku selanjutnya. Dari eksperimen ini Thorndike telah mengembangkan hukum Law Effect. Ini berarti jika sebuah tindakan diikuti oleh sebuah perubahan yang memuskan dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali akan semakin meningkat. Sebaliknya jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan itu menurun atau tidak dilakukan sama sekali. Dengan kata lain, konsekuen-konsekuen dari prilaku sesorang akan memainkan peran penting bagi terjadinya prilaku-prilaku yang akan datang.[10]
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan dan tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat brwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau yang tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.[11]
3.      Burrhus Frederic Skinner
Skinner dilahirkan pada 20 Mei 1904 di Susquehanna Pennylvania, Amerika Serikat. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan kehidupan yang penuh dengan kehangatan namun, cukup ketat dan disiplin.meraih sarjana muda di Hamilton Colladge, New York, dalam bidang sastra Inggris. Pada tahun 1928, Skinner mulai memasuki kuliah psikologi di Universitas Harvard dengan mengkhususkan diri pada bidang tingkah laku hewan dan meraih doktor pada tahun 1931.
Dari tahun 1931 hingga1936, Skinner bekerja di Harvard. Penelitian yang dilakukannya difokuskan pada penelitian menegenai sistem syaraf hewan. Pada tahun 1936 sampai 1945, Skinner meneliti karirnya sebagai tenaga pengajar  pada universitas Mingoesta. Dalam karirnya Skinner menunjukkan produktivitasnya yang tinggi sehingga ia dikukuhkan sebagai pemimpin Brhaviorisme yang terkemuka di Amerika Serikat.[12]
Skinner merupakan seorang tokoh behavioris yang meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Menagement kelas menurut skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Teori belajar behaviorisme ini telah lama dianut oleh para guru dan pendidik, namun dari semua pendukuung teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar Behaviorisme. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat  merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh skinner.[13]
Menurut skinner – berdasarkan percobaanya terhadap tikus dan burung merpati – unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah penguatan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan ( penguatan positif dan penguatan negatif).
Bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Sedangkan bentuk penguatan negatif adalah antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan, atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Skinner tidak sependapat pada asumsi yang dikemukakan Guthrie bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses pelajar. Hal tersebut dikarenakan menurut skinner :
·            Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
·      Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
·      Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar  ia terbebas dari hukuman.
·      Hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan pertama yang diperbuatnya.[14]
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seseorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukumannya harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahnnya, maka inilah yang disebut penganut negatif. Lawan dari penganut negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah, sedangkan penganut negatif adalah dikurangi untuk memperkuat respon.

F.        Kelebihan dan Kekurangan dalam Teori Pembelajaran Behaviorisme
Kelebihan, kekurangan dan permasalahan yang muncul dalam pembelajaran
sesuai dengan teori ini, guru dapat menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi intruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
Dalam teknik pembelajaran yang merujuk ke teori behaviourisme terdapat beberapa kelebihan di antaranya :
·         Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
·         Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang menbutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
·         Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar  mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan.
·         Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Adapun kekurangan dari teori ini adalah:
·         Memandang belajar sebagai kegiatan yang dialami langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalu gejalanya.
·         Proses belajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self control yang bersifat kognitif, sehingga, dengan kemampuan ini, manusia mampu menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
·         Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit diterima, mengingat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.[15]

G.    Implilkasi Terhadap Pembelajaran PAI
Dari uraian kami tentang beberapa teori belajar yang dipelopori oleh tokoh-tokoh behaviorisme maka kami berasumsi bahwa metode mereka cocok untuk di implementasikan dalam pembelajaran PAI. Metode yang kami maksud adalah :
  1. Koneksionisme
Menurut kami teori koneksionisme itu cocok bila diterapkan dalam PAI. Sebab dalam koneksionisme, belajar merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Artinya, dalam belajar PAI hal utama yang paling menentukan adalah adanya stimulus yang bisa membangkitkan dan membentuk minat siswa untuk mau belajar PAI, dimana rasa puas yang ditimbulakan akan mendorong pembelajaran.
Selain stimulus-respon, teori ini juga sering disebut dengan “trial and error” yang berarti berani mencoba tanpa takut salah. Jadi, dalam belajar PAI siswa diharapkan untuk berani mencoba mempelajari PAI. Sehingga siswa menemukan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Umpanya, dalam mata pelajaran PAI siswa diberi beberapa pertanyaan dan siswa juga dituntut untuk dapat menjawabnya tapi dengan teori koneksionisme trial and error siswa diberi kesempatan untuk berani menjawab pertanyaan yang diajukan tanpa rasa takut salah dalam menjawab dan akan tetap terus berusaha sehingga ia dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan sempurna.
  1. Operant Conditioning
Dalam penerapanya teori operant conditioning juga cocok bagi PAI, sebab dalam teori ini “reward” atau “reinforcement” dianggap sebagai faktor terpenting dalam proses belajar, artinya bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor lingkungan, rangsangan, stimulus). Dilanjutkan bahwa dengan memberikan ganjaran positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatis suatu perilaku akan dihambat.
Dalam situasi belajar PAI, hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement langsung. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Sebagai contoh; murid yang tidak menghafalkan pelajaran Qur’an hadits selalu disuruh berdiri didepan kelas oleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia disuruh duduk kembali dan dipuji oleh gurunya. Lama-kelamaan anak itu belajar menghafal setiap pelajaran Qur’an hadits.
  1. Classical Conditioning
Teori classical conditioning juga cocok bila diterapkan dalam pembelajaran PAI, sebab belajar erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali. Atau dengan perkataan lain, ulangan – ulangan dalam hal belajar adalah penting. Sebagai contoh; siswa-siswa sedang membaca do’a diawal pelajaran (UR) apabila melihat seorang guru hendak masuk kelas (US) mulanya berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel masuk kelas (CS) bersama-sama dengan datangnya guru ke kelas (UCS). Setelah kegiatan berulang-ulang ini selesai, suatu hari suara bel masuk kelas tadi berbunyi tanpa disertai dengan kedatangan guru ke kelas ternyata siswa-siswa tersebut tetap membaca do’a juga (CR) meskipun hanya mendengarkan suara bel. Jadi (CS) akan menghasilkan (CR) apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama.




[1]Sarbaini. Model Mengajar Berbasis Kognitif dan Moral. (Yogyakarta: Aswijaya Pressindo, 2011). H. 39.
[2] Sardiman. Interaksi  dan Motivasi Belajar Mengajar. (Jakarta:  PT Raja Grafindo Persada, 2011). h. 47.
[3]Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Beriorentasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).  H. 94.
[4] Abdul Azis Wahab. Metode dan Model-Model Mengajar. (Bandung:  Alfabeta. 2012). H. 52


[5] Agus Suprijono. Cooperative Learning. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). H. 17.
[6]M. Sukarjo dan Ukim Komarudin. Landasan Pendidikan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012) H.34.

[7] Zalyana. Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab. (Pekanbaru: Almujtahadah Press, 2010) H. 106-107.
[8] Ibid, 110-111.
[9] Mark K. Smith, dkk. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. (Jogjakarta: Mirza Media Pustaka, 2010) H 75.

[10] Zalyana. Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab. H 113-114.
[11] C. Asri Budiningsih. Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005) H. 21.
[12] Zalyana, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab. H 115.
[13] C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran. H. 24.

[14] Ibid, hlm.25-26
[15] Zalyana, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab. H 127-128

0 komentar:

Posting Komentar