BAB I
PEMBAHASAN
A. TAFSIR MUQĀRAN
1. Pengertian Tafsir Muqāran
Kata Muqāran
berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata
Qarana-Yuqarinu-Muqāranatan,
secara
bahasa arti dari definisi tersebut adalah perbandingan. Sedangkan secara secara terminologis menafsirkan sekelompok ayat al-Qur’an atau
suatu surah tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, antara
ayat dengan hadis Nabi saw, dan antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan
aspek-aspek perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan.[1]
Dari definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tafsir Muqāran adalah metode tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dengan
cara perbandingan atau biasa juga disebut dengan metode komparatif (metode
perbandingan).
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab mendefinisikan
tafsir muqâran adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur'an
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah
atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama.[2]
Termasuk dalam obyek bahasan metode ini adalah
membandingkan ayat-ayat al-Qur'an dangan Hadits Nabi saw yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan
pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Bersandar pada
karya Ahmad al-Sayyid al-Kûmî, al-Tafsîr al-Maudhû`î, 'Abd Al-Hayy
al-Farmâwi juga mengungkapkan definisi yang senada, namun ditambahkan bahwa
perbandingan juga bisa dilakukan lintas kecenderungan penafsir, seperti
membandingkan penafsiran mereka yang dipengaruhi oleh semangat kesyi'ahan,
ketashawwufan, kemu`tazilahan, keas`ariyahan, dan selainnya, serta
kecenderungan yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang dikuasai seorang
penafsir.[3]
Para ahli tafsir tidak berbeda
pendapat mengenai metode ini. Dari berbagai literatur dapat dirangkum bahwa
yang dimaksud dengan metode Muqāran
(kompratif) ini ialah:
a. Membandingkan teks ayat-ayat
Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam dalam
satu kasus yang sama atau diduga sama.
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan
hadis Nabi saw yang pada lahirnya antara kedua-nya terlihat
bertentangan.
c. Membandingkan berbagai pendapat para
ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[4]
2. Sejarah Perkembangan Tafsir Muqāran
Setiap
metode-metode yang di
gunakan dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an memang
telah tercover dalam sejarah
islam, sebagaimana yang telah
di gambarkan al-Farmawi
tentang bentuk-bentuk penafsiran
tersebut di antaranya
yaitu: Tafsir Ijmali,
Tafsir Tahlili, Tafsir
Maudhū’ῑ, dan Tafsir
Muqāran.
Dalam
sejarah, usaha-usaha dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
terjadi seiring dengan
perkembangan agama Islam, yang
di mulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Ini terbukti
dengan adanya Nabi
Muhammad sebagai mufassir
yang menjelaskan setiap
ayat-ayat Al-Qur’an kepada
para sahabat yang
masih bingung dalam
memahami kandungan makna
pada setiap ayat-ayat
Al-Qur’an.
Penafsiran-penafsiran yang
di lakukan Nabi
Muhammad ini memiliki
sifat-sifat dan karakteristik tertentu,
di antaranya penegasan
makna (bayan Al-Takid),
perincian makna (bayan Tafshil),
perluasan dan penyempitan makna,
serta pemberian contoh.
Sedangkan dari segi
motifnya tafsiran Nabi
Muhammad terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an mempunyai tujuan-tujuan
pengarahan (bayan
Irsyad), peragaan (Tathbia),
pembenaran (bayan Tashih).
Setelah sepeninggal
Nabi Muhammad SAW, kegiatan
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tidak berhenti malah boleh
jadi semakin meningkat
munculnya
persoalan-persoalan baru seiring
dinamika masyarakat yang
progresif.
3. Cara Kerja Penerapan Metode Tafsir Muqāran
Sebelum menerapakan
bagaimana cara kerja metode tafsir Muqāran maka kita mesti mengetahui
aspek-aspek apa saja yang ada didalamnya agar pengaplikasianya berjalan dengan baik serta tidak menyalahi aturan yang
sudah ada. Ada tiga aspek yang
menjadi kajian utama dalam metode tafsir Muqāran, yaitu:
- Membandingkan penafsiran ayat dengan ayat dari berbagai segi.
Perbandingan
dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik dalam pemakaian mufradat,
urutan kata, maupun kemiripan redaksi. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam
metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat, biasanya
mufassirnya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan
yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu
sendiri.[5]
Dalam membahas
perbedaan-perbedaan itu, para mufassir harus meninjau berbagai aspek yang
menyebabkan timbulnya perbedaan seperti latar belakang turunnya ayat tidak
sama, pemakaian kata dan susunannya di dalam ayat berlainan, serta konteks
masing-masing ayat, situasi dan kondisi umat ketika ayat tersebut turun.
Quraish Shihab mempraktikkan penggunaan metode muqâran dengan membandingkan
dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu ayat 126 Surat Ali `Imrân dengan
ayat 10 Surat al-Anfâl.
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ
إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا
النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ.
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu)
melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu, dan agar tenteram hati kamu
karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah Yang Maha Perkasa
labi Maha Bijaksana".
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا
مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bantuan itu)
melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu karenanya menjadi tenteram. Dan
kemenangan itu hanyalah bersumber dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Perbedaan antara ayat pertama dan ayat kedua adalah: Pertama, dalam
surat Ali 'Imrân dinyatakan بشرى لكم sedangkan dalam
surat al-Anfâl tidak disebutkan kata لكم. Kedua, dalam surat Ali
'Imran dinyatakan ولتطمئن
قلوبكم به yakni
menempatkan kata به setelah قلوبكم sedang dalam
surah al-Anfâl kataبه diletakkan sebelum قلوبكم. Ketiga, surah Ali 'Imrân ditutup dengan وماالنصر الا
من عند الله العزيزالحكيم tanpa menggunakan kata إن sedang surat al-Anfâl ditutup dengan menggunakan إن yang berarti "sesungguhnya", إن الله عزيز
حكيم Ayat al-Anfâl disepakati oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang
turunnya malaikat pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks
janji turunnya malaikat dalam Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak
jadi turun karena kaum muslimin tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan
yang ditetapkan Allah ketika menyampaikan janji itu.
Perbedaan redaksi memberi
isyarat perbedaan kondisi kejiwaan dan pikiran lawan bicara, dalam hal ini kaum
muslim. Pada Perang Badar, kaum muslim sangat khawatir akibat kurangnya jumlah
pasukan dan perlengkapan perang. Berbeda dengan Perang Uhud, jumlah mereka
lebih banyak +-sekitar 700 orang, sehingga semangat menggelora
ditambah keyakinan akan turunnya bantuan malaikat sebagaimana pada Perang
Badar. Tidak ditemukannya kata لكم pada ayat kedua
mengisyaratkan kegembiraan yang tidak hanya dirasakan oleh pasukan Badar, tapi
semua kaum muslimin karena bukankah kemenangan pada perang itu merupakan
tonggak utama kemenangan Islam di masa datang? Di ayat pertama, penggunaan kataلكم mengisyaratkan
bahwa berita gembira hanya ditujukan kepada yang hadir saja, itupun dengan
syarat-syarat.
Didahulukannya به atasقلوبكم dalam surat
al-Anfâl adalah dalam konteks mendahulukan berita yang menggembirakan untuk
menunjukkan penekanan dan perhatian besar yang tercurah terhadap berita dan
janji itu. Berbeda dengan surat Ali 'Imrân, konteks ayat itu tidak lagi
memerlukan penekanan karena bukankah sebelumnya hal itu sudah pernah terjadi
pada Perang Badar?. Itu pula sebabnya dalam surat Ali 'Imrân tidak dipakai kata
إن sebagai penguat
karena, sekali lagi, ia tidak diperlukan.[6]
- Membandingkan segi kandungan ayat dengan hadis Nabi saw
Dalam aspek
ini tentunya yang sepadan untuk dibandingkan dengan ayat
al-Qur'an adalah hadits yang berkualifikasi shahîh, sehingga hadits dha`if
tidak perlu dijadikan perimbangan dengan ayat al-Qur'an. Salah satu contoh
adalah Firman
Allah SWT yang agaknya bertentangan dengan hadis nabi Muhammad Saw dalam surah
An-Naml ayat 22-23 dan surah Saba ayat 15 yang berbunyi:
فَمَكَثَ
غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ
بِنَبَإٍ يَقِينٍ(٢٢) إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ
شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (٢٣)
لَقَدْ
كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا
مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (١٥)
Dengan sebuah hadis yang berbunyi:
عَنْ
أَبِى بَكْرَةَ قَالَ : قَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ
بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلُ مَعَهُمْ. بَلَغَ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ مَلَّكُوا عَلَيْهِمُ ابْنَةَ
كِسْرَى. فَقَالَ :« لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً ».
رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْهَيْثَمِ.
Artinya: "Tidak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang
menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita."
Jika diperhatikan secara sepintas, teks hadits di atas bertentangan dengan
kedua ayat terdahulu karena al-Qur'an menginformasikan keberhasilan Ratu Balqis
memimpin negaranya, Saba'. Sebaliknya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
menyatakan ketidaksuksesan sebuah negara (manapun) yang diperintah oleh
perempuan. Dengan demikian, perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang
dengan laki-laki. Padahal kecuali Balqis
sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh perempuan yang
sukses memimpin negara, semisal Syajarat al-Durr, pendiri kerajaan Mamluk yang
memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M).[7]
Untuk mengkomparasi dan mengkompromikan kedua teks tersebut diperlukan
kepastian akan kualifikasi hadits tersebut karena ayat tidak diragukan lagi
keotentikannya. Setelah itu dilihat asbâb al-wurûd hadits tersebut. Pada
kasus hadits ini, asbâb al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah mendengar
berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu menggantikan ayahnya
yang mangkat. Berdasarkan itu, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa
perempuan tidak pas memimpin negara muncul ke permukaan. Namun jika dipakai
kaidah العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب maka akan dijumpai pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah itu terhadap hadits tersebut, maka akan ditemui
bahwa kata قوم - امراة dibentuk dalam format nakirah (indefinite). Itu berarti bahwa
yang dimaksud oleh kata-kata itu adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua
urusan. Jadi, terjemahan dari hadits tersebut (kira-kira) berbunyi: "Suatu
bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan
(sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)".
Jika dipahami demikian, maka jelas bahwa sangat wajar kalau suatu bangsa tidak
akan sukses kalau semua bidang yang ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak
oleh perempuan tanpa sedikit pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki
maupun perempuan memiliki keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan
terjalin kerja sama yang baik.
c. Membandingkan pendapat-pendapat para ulama tentang
penafsiran-penafsiran
yang telah mereka lakukan.
Dalam aspek ini
yang menjadi pembahasan bukan sekedar perbedaanya saja, melainkan argumentasi
masing-masing penafsir, bahkan mencoba mencari apa yang melatarbelakangi
perbedaan itu dan berusaha pula menemukan sisi-sisi kelemahan dan kekuatan
masing-masing penafsir.
Langkah Muqāran
seperti ini penting dilakukan, mengingat bahwa khazanah tafsir al-Qur’an itu
banyak sekali, terutama dari segi coraknya. Dengan mengumpulkan
pendapat-pendapat ulama dari berbagai corak dan berbagai disiplin ilmu, tentu
akan menghasilkan suatu penafsiran yang
lebih mendekati kebenaran dibanding hanya memegang satu pandangan saja tanpa
menguji dan melihat pandangan-pandangan penafsir yang lain. Disinilah tampak
keunggulan tafsir Muqāran dibanding dengan pendekatan-pendekatan
lainnya.[8]
4. Kelebihan
Dan Kekurangan
Seperti pendekatan dan metode tafsir
lainya, pendekatan tafsir al-Muqāran pun tidak bisa terlepas dari
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode tafsir ini adalah bersifat objektif,
kritis dan berwawasan luas[9].
Sedangkan kelemahanya adalah metode Muqāran tidak dapat diberikan kepada
pemula, seperti mereka yang belajar tingkat menengah ke bawah. Hal ini
disebabkan pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang terlalu
ekstrim, konsekuensinya tentu akan menimbulkan kebingungan bagi mereka bahkan
mungkin bisa merusak pemahaman mereka terhadap Islam secara universal.
B. TAFSIR MAUDHŪ’ῑ
1. Pengertian Tafsir Maudhū’ῑ
Kata maudhū’ῑ
berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari
fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan
dan membuat-buat. Arti maudhū’ῑ yang
dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor,
sehingga tafsir maudhū’ῑ berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang
mengenai satu judul atau topic atau sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhū’ῑ
yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’
yang berarti hadis yang didustakan, dipalsukan, dibuat-buat.[10]
Adapun pengertian tafsir maudhū’ῑ (tematik) ialah membahas ayat-ayat Al-Qur’an
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetatpkan. Semua ayat yang
berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait denganya,
seperti asbab al-nuzul, kosakata dan sebaginya.[11]
2. Sejarah Tafsir Maudhui
Dasar-dasar tafsir maudhū’ῑ telah dimulai oleh Nabi
Muhammad SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal
dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh
al-Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai
tafsir maudhū’ῑ dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir
tematik berdasarkan surat digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan
Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada
Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim.
Sedangkan tafsir maudhū’ῑ berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh
Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama
dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas
al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini
digagas pada tahun 1960. Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di
antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad: al-Insan fî
al-Qur’an,al-Mar’ah fî al-Qur’an, dan karya Abul A’la al-Maududi: al-Riba
fî al-Qur’an.[12]
Kaitannya dengan tafsir tematik
berdasar surat al-Qur’an, Zarkashi (745-794 H/1344-1392 M), dengan karyanya al-Burhan,
misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir
yang menekankan bahasan surat demi surat. Demikian juga Suyuti (w. 911 H/1505
M) dalam karyanya al-Itqan.
Karena itu, meskipun tidak fenomena
umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh,
perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa
kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik
tematik berdasarkan surat al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek ataupun
topik.
3. Langkah-Langkah Menerapkan Metode
Tafsir Tematik
Langkah-langkah metode
tafsir maudhū’ῑ baru dimunculkan pada akhir tahun 1960 oleh Prof.
Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Memilih atau menetapkan masalah
al-Qur'an yang akan dikaji secara maudhū’ῑ (tematik).
2) Menghimpun seluruh ayat al-quran
yang terdapat pada seluruh surat al-Qur'an yang berkaitan dan berbicara tentang
tema yang hendak dikaji, baik surat makkiyyat atau surat madaniyyat.
3) Menentukan urutan ayat-ayat yang
dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya
jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab
tertentu).
4) Menjelaskan munasabah (relevansi)
antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat
itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya
(dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily).
5) Menyusun tema bahasan di dalam
kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline) yang
mencakup semua segi dari tema kajian.
6)
Mengemukakan hadis-hadis Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan
menerangkan derajat hadis-hadis itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari tema itu.
Dikemukakan pula riwayat-riwayat (atsar) dari para sahabat dan tabi’in.
7)
Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan syair-syair mereka
dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat
yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
8)
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan menyeluruh
dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara
yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat
yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh dan
mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa
perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada
makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Sedangkan yang
melakukan tafsir maudu’i dengan surat persurat menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengambil satu surat dan
menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan surat tersebut, sebab-sebab
turunnya dan bagaimana surat itu diturunkan (permulaan, pertengahan ataupun
akhir, madaniyat atau makkiyat, dan hadis-hadis yang menerangkan keistimewaanya).
2)
Menyampaikan pengertian dari tujuan mendasar dalam surat dan membahas
mengenai terjadinya nama surat itu.
3)
Membagi surat (khusus untuk surat yang panjang) kepada bagian-bagian yang
lebih kecil, menerangkan unsur-unsurnya (meliputi ‘am khas-nya, nasikh
mansukh-nya, lafaz-nya dalam bahasa Arab dan lain-lain) dan
tujuan masing-masing bagian serta menetapkan kesimpulan dari bagian tersebut.
4)
Menghubungkan keterangan atau kesimpulan dari masing-masing bagian kecil
tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.
Sedangkan Menurut
Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-mawdhu’i secara
rinci menyebutkan ada tujuh langkah yang ditempuh dalam menerapkan metode
tematik, yaitu:
1)
Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhui dibahas ( topik )
2)
Melacak dan menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, baik ayat
makiyah atau madaniyyah.
3)
Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menuurut kronologi masa turunnya disertai
pengetahuan mengenai latar belakang turunya ayat.
4)
Mengetahui kolerasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing
surahnya.
5)
Menyusun tema pembahasan di dalam kerangka yang sesuai, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
6)
Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila dipandang perlu sehingga
pembahasan menjadi semakin sempurna.
7)
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang megandung pengertian serupa, mengkompromikan
antara pengertian yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), muthlak dan muqayyad,
mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan atat
nasikh dan mansukh sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan
terhadapsebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[13]
Sementara menurut Quraish Shihab, beliau menambahkan beberapa catatan yang perlu diperhatikan didalam menerapkan metode tematik. Antara lain adalah:
1)
Penetapan masalah yang dibahas. Walaupun metode ini dapat menampung
semua masalah yang diajukan namun akan lebih baik apabila permasalahan yang
dibahas itu diproritaskan pada persoalan yang langsung menyentuh dan dirasakan
oleh masyarakat, misalnya petunjuk Al-Qur’an tentang kemiskinan,
keterbelakangan, penyakit dan lain-lainnya. Dengan demikian, metode penafsiran
semacam ini langsung memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di
tempat tertentu pula.
2)
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian maka
runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
3)
Kesempurnaan metode tematik dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir
berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an
sendiri. Hal ini dapat
dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma’tsur yang pada
hakikatnya merupakan benih awal dari metode tematik.[14]
Dari uraian di atas, baik yang
dikemukakan oleh Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Abdul Hay Al-farmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama sependapat bahwa
langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan metode tafsir tematik adalah
menetapkan topik atau masalah yang akan dibahas kemudian menghimpun ayat-ayat
yang mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi dengan
hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan dan yang perlu dicatat topik yang
dibahas diusahakan pada persoalan yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat agar Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dapat memberi jawaban terhadap
problem masyarakat itu.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang
penafsir yang menggunakan metode ini ialah:
1)
Untuk sampai
pada kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran, hendaklah menyadari bahwa tidak
bermaksud menafsirkan Al-Qur’an dalam pengertian biasa, tugas utamanya
ialah mencari dan menemukan hubungan antara ayat-ayat untuk mendapatkan
kesimpulan sesuai dengan dilalah ayat tersebut
2)
Penafsir harus
menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak boleh menyimpang
dari tujuan tersebut. Semua aspek dari masalah itu harus dibahas dan
semua rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan merasakan
kedalaman (balaghah) Al-Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang
harmonis diantara susunan ayat-ayat dan bagian-bagian dari Al-Qur’an.
3) Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara
berangsur-angsur. Dengan memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping
persyaratan lain, maka seorang penafsir akan terhindar dari kekeliruan,
dibandingkan jika ia hanya melihat lafazhnya saja.
4) Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan
langkah-langkah yang sesuai dengan petunjuk metode ini, agar perumusan
permasalahan nantinya tidak kabur.[15]
4.
Contoh-contoh
Salah satu contoh yang
bisa memperjelas penerapan metode ini bisa dilihat pada bagaimana Al-Qur’an
memerhatikan pemeliharaan (ri’ayah) terhadap anak yatim. Perhatian Al-Qur’an
itu muncul sejak masa awal turun-nya ayat Al-qur’an sampai dengan wahyu lengkap
dan sempurna.[16]
Periode mekkah (ayat
makkiyah). Pada periode ini pemeliharaan anak yatim ditekankan kepada
pemeliharaan dirinya serta tidak melakukan tindak kejahatan terhadap mereka,
baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Pembicaraan al-Qur’an
tentang hal itu terdapat terdapat dalam empat surat yaitu, Al-isra ayat 34, Al-Fajr
ayat 17, Al-bald ayat 14-15, Ad-Duha ayat 6 dan ayat 9.
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ
الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا
بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا(٣٤)
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa.”
كَلَّا بَلْ لَا
تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ(١٧)
“Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.”
أَوْ إِطْعَامٌ فِي
يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (١٤) يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ(١٥)
14.atau memberi Makan pada hari kelaparan, 15. (kepada) anak
yatim yang ada hubungan kerabat,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآَوَى(٦) فَأَمَّا الْيَتِيمَ
فَلَا تَقْهَرْ(۹)
6.Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungimu?
9. sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.
Periode
madinah (ayat madaniyyah). Pada
periode ini Al-Qur’an turun dengan ayat-ayatnya untuk memberikan berbagai
pemecahan dan jawaban terhadap sekitar persoalan anak yatim, cara memelihara
diri dan hartanya.
Berbagai
ayat turun dengan tekanan.
1) Perintah memelihara atau menjaga
harta anak yatim, larangan mendekatinya kecuali dengan cara yang lebih baik,
tidak boleh dikurangi sedikitpun serta harus diserahkan kepadanya pada saat dia
sudah mampu.
Teknis pemeliharaan harta anak yatim
tercantum dalam Surat al-Nisa’ ayat 2 yang berbunyi :
وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ
بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ
حُوبًا كَبِيرًا
“Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.”
2) Membina
akhlak serta mendidik anak yatim yang meliputi upaya membimbing dan mengarahkan
mereka kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat dan memelihara serta
memperingatkannya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk. Hal ini
terungkap dalam Surat Al-Baqarah ayat 83 yang berbunyi :
وَإِذْ أَخَذْنَا
مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ
حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا
قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
“Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.”
3) Perintah
menyantuni dan menyayangi anak yatim seperti tercantum dalam Surat al-Insan
ayat 8 yang berbunyi :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا
وَأَسِيرًا
“Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan.”
Perintah yang hampir sama juga
diungkapkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 177, Surat Al-Baqarah ayat
125, Surat an-Nisa’ ayat 8, Surat al-Anfal ayat 41 serta al-Hasyr ayat 7[17]
5. Kelebihan Dan Kekurangan
Metode tafsir Maudhū’ῑ mempunyai
beberapa kelebihan. Yang terpenting ialah bahwa metode
ini penafsirannya bersifat luas, mendalam, tuntas sekaligus dinamis. Adapun
kelemahannya antara lain sama dengan tafsir al-muqarran, yakni tidak dapat
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan
dengan metode tahlili dan ijmali.[18]
Beberapa keistimewaannya yang lain yaitu:
1) Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi.
2) Kesimpulan yang dihasilkan mudah
dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk
al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin
ilmu. Dengan metode ini juga dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh
al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan
dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat
al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya.
3) Metode ini memungkinkan seseorang untuk
menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Ia
sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan
perkembangan ilm pengetahuan dan masyarakat.[19]
[1] Abu al-Hayy
al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i (Mesir: Maktabah
al-Jumhuriyyah, 1977), h. 45.
[2] Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan,1996), h. 118.
[3] Abd. Hayy
al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada), 1994, h. 30-31.
[4]Nashruddin baidan, Metodologi
penafsiran Al-Qur’an), (Yogyakarta: Pustaka pelajar , 2000), hlm. 65.
[5] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Qur’an Dengan Metode Mawdhi’iy-Beberapa Aspek Ilmiah
Tentang al-Qur’an, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an, 1986), h. 34.
[6] Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat:
Lentera Hati, 2000), h. 194-196.
[7]Nashruddin baidan, Metodologi penafsiran Al-Qur’an), (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2000), hlm. 94-100.
[9]M. Zaenal Arifin, Pemetaan Kajian
Tafsir (Perspektif Historis, Metodologis, Corak, dan Geografis), (Kediri:
STAIN Kediri Press, 2010), Hal.
33-34.
[10] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa
Kini, (Kalam Mulia:
Jakarta, 1990), hal. 83-84.
[11] Nashruddin baidan, Metodologi penafsiran Al-Qur’an), (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2000), hlm. 151.
[13] Rohimin, Metodologi Ilmu
Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2007)
h. 76-77.
[14] M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Ummat.
(Bandung: Mizan, 1996),hlm. 116.
[16] Rohimin, Metodologi Ilmu
Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, h. 79.
[17] Rohimin, Metodologi
Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, h. 79-81.
[19] Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 117.
0 komentar:
Posting Komentar