BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kecerdasan merupakan
salah satu karunia terbesar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya
sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan
meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir
dan belajar secara terus menerus.
Pada hakikat kecerdasan
itu di berikan kepada semua makluk namun manusia lebih unggul dalam
mengembangkan kecerdasan hingga eksistensinya ada, bilamana ketika melihat pada
makluk lainnya seperti binatang jaman dulu antara lain dinasaurus telah punah
hal salah satu faktor keterbatasan kecerdasan di milikinya.
IQ atau lebih dikenal
dengan Intelektual Question merupakan bagian terpenting dalam individu
seseorang. Intelektual membantu seseorang dalam menganalisa sesuatu, berfikir
secara rasional dan melakukan secara maksimal. Intelektual sering kali menjadi
tolak ukur dalam perencanaan program pembelajaran. EQ atau biasa disebut
Emotional Question adalah bagian yang menjadi identitas kepribadian seseorang.
Emosional yang terjaga baik dan tertata rapi juga akan menghasilkan pribadi
yang baik dan berkualitas. Sehingga dalam pelaksanaan proses pembelajaran,
emosional peserta didik sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan. SQ atau Spiritual Question merupakan bagian terluar dari
individu. Spiritual sering dikaitkan dengan nilai-nilai kepercayaan dan agama atau
dalam Islam dikenal dengan Habluminalloh. Kepercayaan juga menjadi faktor
penentu pelaksanaan pendidikan, karena setiap manusia memiliki kodrat untuk
meyakini sebuah agama. Ketiga elemen diatas terlihat berbeda dan menganalisa
bagian-bagai tertentu dalam individu, namun dalam proses pelaksanaan
pembelajaran, ketiga elemen ini saling berkaitan dan mendukung satu sama lain.
Tidak jarang ditemuka ditengah lapangan, para ilmuwan yang mempunyai pemikiran
brilian, namun terkendala dalam emosinya sehingga sering mengalami gangguan
kejiwaan. Banyak juga para ilmuan yang tidak mengenal agama, sehingga ilmu yang
ia miliki digunakan pada tempat yang tidak semestinya
Bicara tentang
kecerdasan tentu kita biasanya hanya
mengarah kepada kecerdasan intelektual saja (IQ) karena penerapannya sistem pendidikan kita saat ini
lebih menekankan pengembangan kecerdasan
intelektual saja (IQ) saja dan dimensi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) di marginalkan. Ketika pendidik
hanya menekan kepada kecerdasan intelektual (IQ) maka akan terjadi ketidak
seimbangan antara kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ)
karena hanya tekan logika dan bahasa namun pada hakikat antara IQ,EQ dan SQ
harus seimbang. Berdasarkan paparan yang
dikemukan maka penulis mengemukakan
makalah yang berjudul “Dasar-Dasar Psikologis
pendidikan Islam: IQ, EQ dan SQ”
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian IQ, EQ dan SQ
2.
Macam-Macam
Kecerdasan Manusia
3.
Apakah ada hubungan antara IQ, EQ dan SQ dalam perspektif Islam
4.
Apakah IQ, EQ, dan SQ memiliki Urgensi penting dalam
Proses Pendidikan
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui dan memahami bagaimana Pengertian IQ,
EQ dan SQ
2.
Untuk
mengetahui dan memahami Macam-Macam Kecerdasan Manusia
3.
Untuk mengetahui dan memahami apakah ada hubungan
antara IQ, EQ dan SQ dalam perspektif Islam
4.
Untuk mengetahui apakah ada Hubungan antara IQ, EQ dan
SQ terhadap perspektif islam
5.
Apakah IQ, EQ, dan SQ memiliki urgensi penting
dalam proses pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian IQ, EQ dan SQ
1.
Pengertian Intelectual
Quotient (IQ)
Kecerdasan Intelektual
adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio, yaitu kecerdasan untuk
menerima, menyimpan, dan mengolah informasi menjadi sebuah fakta.IQ juga
merupakan kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas akal yang berpusat di
otak.Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak akan ada
informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan, diolah dan diinformasikan
kembali pada saat dibutuhkan.Proses dalam menerima, menyimpan dan mengolah
kembali informasiDengan daya pikirnya, manusia berusaha mensejahterakan diri
dan kualitas kehidupannya.Pentingnya menggunakan akal sangat dianjurkan oleh
Islam.Tidak terhitung banyaknya ayat-ayat Al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW yang
mendorong manusia untuk selalu berfikir.Manusia tidak hanya disuruh memikirkan
dirinya, tetapi juga dipanggil untuk memikirkan alam jagad raya.Dalam konteks
Islam, memikirkan alam semesta akan mengantarkan manusia kepada kesadaran akan
keMahakuasaan Sang Pencipta (Allah SWT). Dari pemahaman inilah tumbuh tauhid
yang murni, ‘’Agama adalah akal, tak ada agama bagi orang-orang yang tidak
berakal’’[1].
Beberapa ayat yang menjadi bukti bahwa Allah sangat menuntut manusia untuk
terus berpikir:
Firman-Nya dalam QS.
Al-Baqarah 164
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@ø©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ÌøgrB Îû Ìóst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZt }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkÏù `ÏB Èe@à2 7p/!#y É#ÎóÇs?ur Ëx»tÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷èt ÇÊÏÍÈ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan.
Pada surah Al-Baqarah
ayat 164 tersebut mendorong manusia
untuk memikirkan kejadian langit dan bumi, pergantian malam dengan siang dan
betapa air hujan mengubah tanah yang tandus menjadi hijau kembali.
Firman-Nya dalam QS. Ar-Ra’d 4
Îûur ÇÚöF{$# ÓìsÜÏ% ÔNºuÈq»yftGB ×M»¨Zy_ur ô`ÏiB 5=»uZôãr& ×íöyur ×@ÏwUur ×b#uq÷ZϹ çöxîur 5b#uq÷ZϹ 4s+ó¡ç &ä!$yJÎ/ 7Ïnºur ã@ÅeÒxÿçRur $pk|Õ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû È@à2W{$# 4
¨bÎ) Îû Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 cqè=É)÷èt ÇÍÈ
Artinya : Dan di bumi
ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur,
tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang,
disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu
atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.
Ayat diatas mengajak
manusia untuk merenungkan betapa variatifnya bentuk, rasa dan warna
tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, padahal berasal dari tanah yang sama.
2.
Pengertian emotional
Quotient (IQ)
“kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
mengendalilan emosi dan rasional secara bersamaan dengan kondisi yang tepat.
Aristotele pernah mengatakan bahwa semua bisa menjadi marah, namu marah dalam
kondisi yang tepat tidak dilakukan oleh semua orang”[2].
Sedangkan EQ
menurut.Peter Salovey dan John Mayer memberikan defenisi, sebagai berikut:
"emotional Intteligence is the ability to perceive emotion, to access and
generate emotions so as to assist thought..." melihat dari deinisi
tersebut, agar seseorang dapat dikatakan memiliki kecerdasan emo baik, orang
itu harus memenuhi syarat, sebagai berikut:
a)
mampu memahami emosi-emosi,
b)
mampu memasuk emosi-emosi
c)
mampu menarik emosi
d)
mampu menggunakan emosi-emosi itu
untuk membantu pikirannya[3]
3.
Pengertian Spritual
Qutient
Kecerdasan Spritual
(SQ), yang merupakan temuan terkini secara ilmiah, pertama kali digagas oleh
Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari harvard University dan Oxpord
Universty melalui resit yang sangat Komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang
kecerdasan spritual yang dipaparkan Zohar Marshall dalam SQ, Spritual Quotient,
The Ultimate Intelegence, dua diantaranya adalah: Pertama riset ahli
Psikologi/syaraf, Michael persinger awal 1990-an, dan lebih muktahir lagi tahun
1997 oleh ahli syaraf V.S Ramachandran dan timnya dari california university
yang menemukan God-Spot dalam otak manusia, ini sudah built-in sebagai pusat
spritual yang terletak pada jaringan otak.[4].
Spritual intellgence (SQ,
Spritual Qutient) adalah paradigma kecerdasan spritual. Artinya, segi dan
ruangan spritual kita bisa memancarkan
cahaya spritual ( Spritual light) dalam bentuk kecerdasan spritual. Dr. Marsha
Sinetar, yang terkanal luas sebagai pendidik, penasihat, pengusaha, dan penulis
buku-buku bestseller, menafsirkan kecerdasan speitual sebagai pemikiran yang
terilhami. Kata Sinetar, kecerdasan adalah cahaya, ciuman kehidupan yang
membangunkan keindahan tidur kita. Kecerdasan spritual membangunkan orang-orang
dari segala usia dalam segala situasi, kecerdasan spritual melibatkan kemampuan
menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Itu berati mewujudkan hal yang
terbaik, utuh, dan paling manusia dalam batin. Gagasan energi, nilai, visi,
dorongan, dan ara panggilan hidup, mengalir dari dalam, dari suatu keadaan
kesdara yang hidup bersama cinta. Dari sudut pandang psikologi, kecerdasan
spritual justru mengjutkan kita, karean ternyata sudut psikologi membertitahu
kita bahwa ruangan ( spritual space) pun memili arti kecerdasan. Lokikanya
sederhanya ( common sense:) : diantara kita bisa saja ada orang tidak cerdas
secara spritual, dengan eksprisi keberagamaan yang monolitik, eksklutif, dan
intoleran, yang sering kali berakibat pada kobaran konflik atas nama agama.
Begitu juga sebaliknya, di antara kita bisa juga ada orang yang cerdas secara spritual sejauh orang itu
mengalir dengan penuh kesadaran, dengan sikap jujur dan terbuka, inklusif, dan
bahkan pluralis dalam beragam di tengah pluralitas agama.[5]
Danah Zohar dan Ian
Marshall mendefenisikan kecerdasan spritual adalah kecerdasan untuk menghadapi
persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan
hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai
bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih memakna di bandingkan dengan
yang lain.[6]
B.
Macam-Macam Kecerdasan Manusia
1. Kecerdasan
Intelektual [Intelligence Quotient (IQ)]
Kecerdasan Intelektual/Intelligence
Quotient (IQ) merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses
kognitif, pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan
matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif
(menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Kecerdasan ini dikenal
dengan kecerdasan rasional karena menggunakan potensi rasio dalam memecahkan
masalah, penilaian kecerdasan dapat dilakukan melalui tes atau ujian daya
ingat, daya nalar, penguasaan kosa kata, ketepatan menghitung, mudah
menganalisis data. Dengan ujian seperti dapat dilihat tingkat kecerdasan
intelektual seseorang.
Kecerdasan
intelektual muncul sejak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sejak anak di
dalam kandungan (masa pranata) sampai tumbuh menjadi dewasa. Kecerdasan
intelektual (inteligensi) merupakan aspek psikologis yang dapat mempengaruhi
kuantitas dan kualitas seseorang dalam perolehan pembelajaran.
Kecerdasan
intelektual (IQ) pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik
untuk mereaksi rangsangan atau diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat.[7]
Semenjak
zaman pencerahan yang mengagungkan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai lambang
kemajuan peradaban, intilegensi naik daun dan dianggap sebagai prediktor utama
kesuksesan, bahkan mungkin satu-satunya. Sehingga salah kaprah terhadap konsep
IQ dan terjadi pemberhalaan IQ. Sering terjadi pertukaran konsep dikalangan
awam antara inteligensi (intelligence) dan IQ.
Inteligensi
adalah sebuah konsep, yang dioperasionalisasikan dengan suatu alat ukur, dan
keluaran dari alat ukur inilah yang berupa IQ. Angka yang keluar adalah angka
berdasarkan satuan tertentu. Semacam “gram” untuk “berat”, dan “meter” untuk
“jarak”. Konsep inilah yang harus diluruskan agar tidak menimbulkan beragam
penafsiran : IQ adalah satuan ukur.
Untuk
mengukur tingkat inteligensi anak, dapat digunakan tes IQ (Intelligence
Quotient) misalnya dari Binet Simon. Dari hasil tes Binet Simon, dibuatlah
penggolongan inteligensi sebagai berikut:
1. Genius > 140;
2. Gifted > 130;
3. Superior > 120;
4. Normal 90-110;
5. Debil 60-79;
6. Imbesil 40-55;
Inteligensi orang satu dengan yang
lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena adanya beberapa faktor yang
mempengaruhinya, antara lain:
a)
Faktor pembawaan, dimana faktor ini
ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir.
b)
Faktor minat dan pembawaan yang
khas, dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan
dorongan bagi perbuatan itu.
c)
Faktor pembentukan, dimana
pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi
perkembangan inteligensi.
d)
Faktor kematangan, dimana tiap organ
dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ
manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang jika ia telah
tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya
masing-masing.
e)
Faktor kebebasan, yang berarti
manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Di samping kebebasan memilih metode juga bebas memilih masalah yang sesuai
dengan kebutuhannya.
Kelima faktor itu saling terkait
satu dengan yang lain. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat
hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut.[9]
2.
Kecerdasan Emosi [Emotional
Quotient (EQ)]
Sesuai dengan berjalannya zaman,
manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi tidak kalah pentingnya dalam
mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting dari pada
inteligensi. Daniel Goleman telah mempopulerkan pada pertengahan 1990-an. Seperti
juga IQ, konsep kecerdasan emosi ini dioperasionalisasikan menjadi alat ukur
dan keluarannya disebut EQ. [10]
Konsep ini muncul dari beberapa
pengalaman, bahwa kecerdasan intelektual yang tinggi saja tidak cukup untuk
mengantarkan orang menuju sukses. Menurut Goleman (1995) pengembangan
kecerdasan emosional, orang-orang sukses selain memiliki kecerdasan intelektual
yang tinggi tetapi juga memliki stabilitas, motivasi kerja yang tinggi, mampu
mengendalikan stres, tidak mudah putus asa, dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman
demikian, memperkuat keyakinan bahwa disamping kecerdasan intelektual juga ada
kecerdasan emosional. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
adalah mereka yang mampu mengendalikan diri (mengendalikan gejolak emosi),
mampu menerima kenyataan, dapat merasakan kesenangan meskipun dalam kesulitan.[11]
Demikian pula penerapannya dalam
kehidupan organisasi, inteligensi tidak lagi dianggap satu-satunya faktor
menentukan kinerja seseorang. Dalam konsep kompetensi faktor-faktor seperti
motivasi, keterampilan interpersonal, dan kepemimpinan mendapat perhatian yang
cukup signifikan.[12]
Tokoh-tokoh
seperti Sternberg, Baron dan Salovey, menyebutkan adanya lima domain kecerdasan
pribadi dalam bentuk kecerdasan emosional, yaitu:
a.
Kemampuan mengenali emosi diri
Kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang
dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul. Ini
sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Seseorang yang mampu
mengenali emosinya sendiri adalah bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas
perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan
secara mantap. Misalnya sikap yang diambil dalam menentukan berbagai pilihan,
seperti memilih sekolah, sahabat, pekerjaan sampai kepada pemilihan pasangan
hidup.
b. Kemampuan
mengelola emosi
Kemampuan mengelola emosi merupakan
kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak
meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara salah. Mungkin dapat
diibaratkan sebagai seorang pilot pesawat yang dapat membawa pesawatnya ke
suatu kota tujuan dan kemudian mendaratkannya secara mulus. Misalnya seseorang
yang sedang marah, maka kemarahan itu, tetap dapat dikendalikan secara baik
tanpa harus menimbulkan akibat yang akhirnya disesalinya di kemudian hari.
c. Kemampuan
memotivasi diri
Kemampuan memotivasi diri merupakan
kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu
yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur harapan
optimisme yang tinggi, sehingga seseorang memiliki kekuatan semangat untuk
melakukan suatu aktivitas tertentu. Misalnya dalam hal belajar, bekerja,
menolong orang lain dan sebagainya. [13]
d. Kemampuan
mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain
(empati) merupakan kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain,
sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya. Anak-anak
yang memiliki kemampuan ini, yaitu sering pula disebut sebagai kemampuan
berempati, mampu menangkap pesan non verbal dari orang lain seperti nada
bicara, gerak-gerik maupun ekspresi wajah dari orang lain tersebut. Dengan
demikian anak-anak ini akan cenderung disukai orang.
e. Kemampuan
membina hubungan sosial
Kemampuan membina hubungan sosial
merupakan kemampuan untuk mengelola emosi orang lain, sehingga tercipta
keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih
luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai
bergaul dan menjadi lebih populer.
Disini dapat kita simpulkan betapa
pentingnya kecerdasan emosional dikembangkan pada diri siswa (peserta didik).
Karena betapa banyak kita jumpai siswa (peserta didik), dimana mereka begitu
cerdas di sekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, namun bila tidak
dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah, mudah putus asa atau angkuh dan
sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk dirinya.
Ternyata kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan pada
peserta didik sedini mungkin dari tingkat pendidikan usia dini sampai ke
Perguruan Tinggi. Karena hal inilah yang mendasari keterampilan seseorang di
tengah masyararakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat
berkembang secara lebih optimal.[14]
Selain itu kecerdasan emosi
berkaitan dengan pemahaman diri dan orang lain, beradaptasi dan menghadapi
lingkungan sekitar, dan penyesuaian secara cepat agar lebih berhasil dalam
mengatasi tuntutan lingkungan.
3. Kecerdasan
Spiritual [Spiritual Quotient (SQ)]
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan
kemampuan individu terhadap mengelola nilai-nilai, norma-norma dan kualitas
kehidupan dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau lebih
dikenal dengan suara hati (God Spot).
Sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Hajj ayat 46, sebagai berikut:
óOn=sùr& (#rçÅ¡o Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷èt !$pkÍ5 ÷rr& ×b#s#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù w yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrßÁ9$# ÇÍÏÈ
Artinya : “Maka Apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena
Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada”. (Q.S. Al-Haj :
46).[15]
Kecerdasan
spiritual disini bermakna bahwa seseorang individu yang memiliki rasa tanggung
jawab kepada sang pencipta serta kemampuan mengkhayati nilai-nilai agama.
Keridlaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima dengan
hati yang rela dengan peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh agama.
Tanggung jawab kepada sang pencipta dapat membantu seseorang untuk terus
belajar dan bekerja keras tanpa rasa jenuh. Allah membimbing siapa saja yang
ridla kepada-Nya melalui jalan-jalan keselamatan dan membawa mereka dengan
izin-Nya keluar dari kegelapan menuju cahaya. Sebagaimana tujuan diciptakannya
manusia, dalam surat al-Maidah ayat 16:
Ïôgt ÏmÎ/ ª!$# ÇÆtB yìt7©?$# ¼çmtRºuqôÊÍ @ç7ß ÉO»n=¡¡9$# Nßgã_Ì÷ãur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ¾ÏmÏRøÎ*Î/ óOÎgÏôgtur 4n<Î) :ÞºuÅÀ 5OÉ)tGó¡B ÇÊÏÈ
Artinya : “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus.”
(Q.S. Al-Maidah :16) [16]
Kecerdasan
spiritual (SQ) yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan emosional
menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan menjalani
hidup penuh berkah. Terutama pada masa sekarang, dimana manusia modern
terkadang melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu.
Manusia
modern adalah manusia yang mempunyai kualitas intelektual yang memadai, karena
telah menempuh pendidikan yang memadai pula. Salah satu ciri yang kental dalam
diri manusia modern adalah suka membaca. Hal ini sejalan dengan syariat Islam,
dimana syariat pertamanya adalah membaca. Namun, terkadang kualitas intelektual
tersebut tidak dibarengi dengan kualitas iman atau emosional yang baik,
sehingga berkah yang diharapkan setiap manusia dalam hidupnya tidak dapat
diperoleh.
K.H. Ali
Yafie menyatakan, ibadah yang dijalankan oleh umat Islam seharusnya bukan hanya
merupakan suatu kewajiban, sehingga menjadi beban. Akan tetapi ibadah hendaknya
menjadi kebutuhan hidup yang mutlak. Dengan menjadikan ibadah sebagai kebutuhan
mutlak, tiap umat Islam akan selalu rindu untuk menjalankan ibadah. Dengan kata
lain, upaya mi’raj atau mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai salah
satu wujud dari makna hidup manusia dapat diusahakan tanpa menjadikannya suatu
beban.
Sementara
itu, Komaruddin Hidayat memaparkan beberapa ciri manusia modern yang terjadi
dalam dua kelompok besar, yaitu beragama dan tidak beragama. Ciri-ciri tersebut
adalah rasional, mengandalkan kekuatan pribadi, selalu penuh dengan rencana dan
kompetitif. Namun, ia memberi penekanan bahwa manusia modern dalam Islam tidak
boleh melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu. Hal ini membutuhkan
kecerdasan spiritual, lanjutnya, sehingga hati dan nalar akan dapat bekerja
sama.[17]
Proses
pembersihan diri dan upaya untuk menjernihkan hati, dengan tujuan memunculkan
kemampuan mendengar suara hati terdalam yang merupakan sumber kebijaksanaan dan
motivasi. Pengaktifan, pembangkitan secara mental dan spiritual untuk
memunculkan kemampuan dan potensi yang tersembunyi, pengisian dengan
sifat-sifat Allah yang agung dan indah, memunculkan sifat-sifat yang baik,
membangun citra positif yang mempesonakan.
Pengembangan
potensi diri adalah suatu metode untuk melepaskan, mengarahkan, mengendalikan
kekuatan pikiran bawah sadar (unconscious mind), sehingga menjadi suatu
langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus pola pengasahannya,
melalui berbagai aplikasi dan keilmuan canggih berdasar kekuatan do’a dan
dzikir yang digali dari al-Qur’an dan Hadits, menjadi modal dasar untuk
pencapaian jalan keluar terbaik, untuk mencapai kerukunan, untuk mencapai
harkat kehidupan yang lebih tinggi sepanjang perjalanan kehidupan. Bilamana
setiap manusia bisa mengendalikan emosinya, maka kehidupan akan menjadi lebih
indah.
Untuk itu
setiap manusia perlu mendapatkan suatu pelatihan dan pemahaman tentang
kecerdasan emosi (EQ) dengan semangat spiritual (SQ), sehingga terjadi suatu
perpaduan yang dahsyat untuk membangun karakter manusia yang sempurna, baik di
dunia, di masyarakat maupun di mata Tuhan SWT.
Mampu
memberi makna luhur terhadap pekerjaan dan tugas sehari-hari sehingga manusia
akan merasakan makna kehidupan yang sangat indah dan menyenangkan ketika sedang
bertugas dan tetap tegar saat menghadapi masalah yang berat sekalipun.
Meningkatkan dan membangkitkan berbagai kemampuan dan potensi untuk memunculkan
kekuatan spiritual terdalam (inner power) sehingga menjadi sumber
kecerdasan spiritual dengan kekuatan do’a dan dzikir agar manusia terangkat ke
permukaan, lebih tinggi dari sebelumnya.
Dalam
al-Qur’an, selain mengajarkan tuntunan beribadah secara sempurna terkandung
juga suatu teknologi yang luar biasa untuk mencapai suatu tujuan-tujuan
tertentu dan berbagai keilmuan yang membutuhkan pengkajian lebih dalam lagi
untuk memahaminya dan menggunakannya untuk kemajuan umat manusia.[18]
Berbagai
penelitian mengenai tubuh manusia bahkan membuat kita lebih terpesona lagi akan
kebesaran Allah SWT dalam menciptakan manusia. Bagaimana ciptaan yang sempurna
ini bekerja, berpikir, bergerak, menganalisa, mengambil keputusan, memunculkan
berbagai gagasan yang indah dan hebat, hingga manusia ini bisa berhasil menjadi
terkenal, berkemampuan logik maupun spiritual, mempunyai emosi (IQ, EQ, SQ)
yang bila dipergunakan secara positif-konstruktif akan memberi suatu hikmah
pencapaian yang luar biasa.
4.
Multiple
Intelligence (Kecerdasan Ganda)
Akhir-akhir ini
banyak dibahas konsep kecerdasan ganda (Multiple Intelligence). Konsep
ini berawal dari karya Horward Gardner (dalam buku Frames of Mind, 1983), yang
didasarkan atas hasil penelitiannya selama beberapa tahun tentang kapasitas
kognitif manusia (human cognitive capacities).
Gardner
menolak asumsi, bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan individu
hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun sebagian besar individu
menunjukkan penguasaan seluruh spektrum kecerdasan, tiap individu memiliki
tingkat penguasaan yang berbeda. Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan
kecerdasan-kecerdasan itu bergabung menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan
pribadi yang cukup tinggi.[19]
Menurutnya,
dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang belum dikembangkan dan bahkan
kadang-kadang potensi tersebut telah kita kubur gara-gara kesibukan kita
sehari-hari, seperti pekerjaan, mengurus rumah tangga atau sekolah. Dalam
penemuannya, setidaknya ada delapan kecerdasan yang patut di perhitungkan
secara sungguh-sungguh sebagai sebuah kecerdasan juga. Delapan kecerdasan itu diantaranya sebagai berikut:
1) Kecerdasan
matematis-logis (logical-mathematical intelligence) merupakan kecakapan
untuk menghitung, mengkuantitatif, merumuskan proposisi dan hipotesis, serta
memecahkan perhitungan-perhitungan matematis yang kompleks. Para ilmuwan, ahli
matematis, akuntan, insinyur, pemogram komputer adalah orang-orang yang tinggi
dalam kecerdasan logis matematisnya.
2) Kecerdasan
bahasa (linguistic intelligence) ; merupakan kecakapan berfikir melalui
kata-kata, menggunakan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks.
Para penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, adalah orang-orang yang
memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.
3) Kecerdasan
visual (visual-spatial intelligence) ; merupakan kecakapan berpikir
dalam ruang tiga dimensi. Seorang yang memilik inteligensi visual-ruang yang
tinggi seperti pilot, nahkoda, astronot, pelukis, arsitek, perancang dan
lain-lain. Mampu menangkap bayangan ruang internal dan eksternal, untuk
penentuan arah dirinya atau benda yang dikendalikan, atau mengubah, mengkreasi
dan menciptakan karya-karya tiga dimensi nyata.
4) Kecerdasan
kinestik atau gerakan fisik (kinesthetic intelligence) merupakan
kecakapan melakukan gerakan dan keterampilan kecekatan fisik seperti dalam olah
raga, atletik, menari, kerajinan tangan, bedah, dan lain-lain. Orang-orang yang
memiliki kecerdasan kinestetik yang tinggi adalah para olahragawan, penari,
pencipta tari, pengrajin profesional, dokter bedah, dan lain-lain.
5)
Kecerdasan musik (musical intelligence) ; merupakan
kecakapan untuk menghasilkan dan menghargai musik, sensitivitas terhadap
melodi, ritme, nada, tangga nada, menghargai bentuk-bentuk ekspresi musik.
Komponis, dirigen, musisi, kritikus, musik, pembuat instrumen musik, penyanyi,
pengamat musik adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan musik yang tinggi.
6) Kecerdasan
hubungan sosial (interpersonal intelligence); merupakan kecakapan
memahami dan merespon serta berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, watak,
temperamen, motivasi dan kecenderungan terhadap orang lain. Orang-orang yang
memiliki kecerdasan hubungan sosial di antaranya guru, konselor, pekerja sosial,
aktor, pimpinan masyarakat, politikus, dan lain-lain. [20]
7) Kecerdasan
kerohaniahan (intrapersonal intelligence) ; merupakan kecakapan memahami
kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan
dan kelemahan diri. Kecakapan membentuk persepsi yang tepat terhadap orang,
menggunakannya dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan yang lain.
Agamawan, psikolog, psikiater, filosof, adalah mereka yang memiliki kecerdasan
pribadi yang tinggi.
8)
Kecerdasan naturalistik ; merupakan kemampuan
seorang siswa (peserta didik), guru (pendidik) untuk peka terhadap lingkungan
alam. Misalnya senang berada di lingkungan yang terbuka seperti pantai, gunung,
cagar alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan kecerdasan seperti ini
cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan,
jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda di angkasa,
dan lain sebagainya.[21]
C.
Hubungan dalam IQ, EQ
dan SQ dalam perspektif islam
Menilik Tentang IQ dan
EQ sudah kita pahami pengertiannya serta bagaiamana keduanya apabila
bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebut tidak disinergikan dengan SQ
maka bisa berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah menjadi “ahli petapa”, duduk
termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas. Seseorang bisa saja sukses
dengan mempunyai kecerdasan IQ dan SQ, seorang penipu atau yang lebih popular
saat ini adalah para koruptor, tentunya dia harus cerdas dan jago bersrategi,
untuk itu diperlukan IQ. Sementara untuk uji “timing” dalam pelaksanaan
strategi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di
ajak berspekulasi dan berkompromi dengannya di perlukanlah EQ. semangat juang
tinggi, mereka selalu tampak prima dan percaya diri namun niat dan ahklaknya
sangat buruk, itulah bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ. Bahkan menurut
sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang dijiwai dengan
SQ. banyak orang yang di PHK bukan karna tidak mampu melakukan pekerjaan dengan
baik, bukan karna tidak mampu mengoprasikan sesuatu dan bukan karna tidak mampu
berkomunikasi dengan baik namun karna mereka tidak memiliki intergritas, tidak
jujur, tidak bertangung jawab dan tidak amanah pada pekerjaanya. Itu karena
mereka tidak mempunyai keseimbangan dalam tiga kecerdasan IQ , EQ, dan SQ[22].
Menurut Dr. Guslihan D.
Tjipta, spak dalam makalahnya pada seminar Talk Show sharing moments bu Pigeon
yang berjudl "menyelaraskan IQ,QS, dan SQ agar anak tangguh dan mandiri:
tahun 2003 menjelaskan bahwa anak menjadi orang sukses jika memliki IQ tinggi,
mampu bersosialisasi dengan lingkungannya (EQ) dan memiliki keimanan yang
(SQ),. Tiga kecerdasan ini diharapak bisa dimiliki anak sehingga mampu menjadi
individu yang mandiri dan mimiiliki jiwa yang tangguh setelah dewasa, namun sekarang
ini banya sukses dengan IQ sedang-sedang saja. Hali ini dikarenak kemampuannya
mengolah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spritual (SQ) . Sementara
itu, Dra. Gustiari Lella, Psi dalam acara yang sama mengemukakan bawa efek
psikologis mempengaruhi IQ, EQ, dan SQ
anak. Penelitain terdahulu menemukan bawa otak bagian kiri manusia merupakan
pusat intelektual, sedangakan otak bagian kanan sebagai pusat emosi, sedangkan
kecerdasan spritual terletak di antara kedua titik tersebut yang disebut God Spot
( titik wilayah ketuhanan )masing-masing bagian tersebut memiliki dan ketiganya
perlu di kembangkan dan diselaraskan untuk menciptakan manusia yang paripurna[23].
Bilamana kita melihat
dalam Persefiktif Islam mengenai IQ, EQ, dan SQ dalam hal ini Sentuhan
al-Qur'an dan al-Hadis yang begitu halus dan gamblang terhadap akal , qalbu dan
fuad (hati nurani) sebagai pusat IQ , EQ dan SQ menunjukkan bahwa Islam
memberikan apresiasi yang sama terhadap ketiga sistem kecerdasan tersebut.
Hubungan ketiganya dapat dikatakan saling membutuhkan dan melengkapi . Namun
kalau akan dibedakan , maka SQ merupakan "Prima Causa " dari IQ dan
EQ. SQ mengajarkan interaksi manusia dengan al-Khalik , sementara IQ dan EQ
mengajarkan interaksi manusia dengan dirinya dan alam di sekitarnya. Tanpa
ketiganya bekerja proporsional, maka manusia tidak akan dapat menggapai
statusnya sebagai "Khalifah" di muka bumi. Oleh karena Islam
memberikan penekanan yang sama terhadap " hablun min Allah " dan
"hablun min al-naas ", maka dapat diyakini bahwa keseimbangan IQ, EQ
dan SQ merupakan substansi dari ajaran Islam. Jika selama ini orang Islam sadar
atau tidak, turut mengagungkan dan memberi penekanan terhadap pendidikan akal
dengan mengenyampingkan pendidikan hati dan hati nurani berarti orang Islam
telah mengabaikan semangat dan ajaran agamanya. Kondisi yang tidak ideal
tersebut sudah waktunya diakhiri , dengan memberikan pendidikan dan kepedulian
yang sama terhadap IQ, EQ dan SQ[24].
D.
Urgensi IQ, EQ,
dan SQ dalam Proses Pendidikan
Para ahli
psikologi menyebutkan bahwa IQ hanya mempunyai peran sekitar 20% dalam
menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya ditentukan oleh
faktor-faktor yang lain.[25]
Manusia
memiliki tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi
(EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ketiga-tiga kemampuan sangat membantu
seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan
tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun
sosial masyarakat. Selama ini masyarakat mempercayai dan mengagung-agungkan
secara dominan salah satu kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ).
IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi
tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan. Realitas menunjukkan bahwa
banyak orang IQ-nya tinggi, tetapi tidak selalu berhasil dalam hidupnya.
Seperti hasil penelitian Gardner, seorang profesor pendidikan Harvard melakukan
riset kecerdasan manusia, ia mematahkan mitos bahwa Intelligence Quotient (IQ)
tetap, tidak berubah, jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka
IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang
terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, akan sulit mendapatkan
IQ yang superior (jenius), begitu
pula sebaliknya. Tetapi, Emotional
Quotient (EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar. Kecerdasan
emosi merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan
produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.
Menurut Iskandar Doktor Psikologi Pendidikan dari
Universitas Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa pembelajaran di lembaga
pendidikan sekolah dan perguruan tinggi kita selama ini cenderung menggunakan
kemampuan metamatis-logis dan bahasa, (kecerdasan intelektual) akibatnya
membunuh kemampuan lainnya.
Dengan
munculnya teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), Dr.
Iskandar berpendapat bahwa teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ) dapat diaplikasikan sebagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang
lebih memahami kemampuan intrapersonal dan interpersonal, pendidik dan peserta
didik, kemampuan afektif peserta didik yang berbeda tidak bisa didekati dengan
metode pembelajaran yang sama.[26]
Sadar atau
tidak sekolah-sekolah kita saat ini dari SD sampai Perguruan Tinggi, pada
umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa saja (menulis, membaca,
menghafal, menghitung dan menjawab) sesuai dengan instruksi guru atau dosen
(tenaga pendidik), tanpa pernah memberi kesempatan siswa untuk berpikir,
bekerja dan mengetahui pengalaman baru. Hal ini seolah-olah masa depan
anak-anak kita itu, sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif atau kemampuan
intelektual (IQ), hipotesis ini menjadi benar karena memang untuk masuk lembaga
pendidikan yang bermutu, masa depannya ditentukan dengan waktu diruangan lebih
kurang 3 jam, yaitu pada ujian masuk.
Bagaimana
tenaga pendidik (guru dan dosen) serta peserta didik (siswa dan mahasiswa)
menyikapi fenomena pendidikan yang penuh dengan dikotomi antara idealisme
pendidikan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat? Menurut Iskandar,
pendidik atau peserta didik hendaklah lebih kreatif dan inovatif dalam
menggunakan instink dan talenta pendidik dan peserta didik.
Bagaimana proses belajar mengajar yang mengantar masa depan anak-anak dalam konsep
ujian-ujian itu tetap berjalan, tetapi proses pembelajaran dengan memberikan
pengalaman hidup yang berhubungan dengan materi pembelajaran yang diajarkan
tetap dikembangkan sehingga terintegrasi antara teori dan prakteknya.
Melihat potensi
intelektual dan kecerdasan emosi yang demikian besar, muncul pertanyaan,
bagaimana pendidik dan peserta didik dapat mengembangkan pembelajaran
berkualitas? Pertama, secara sederhana dapat dinyatakan, bahwa untuk
mengembangkan IQ pendidik dan peserta didik, perlu mengadakan percepatan
pembelajaran (accelerated learning). Dalam percepatan belajar kita akan belajar bagaimana cara belajar (learn how to learn). Termasuk dalam
kategori ini adalah kemampuan matematis dan linguistik (membaca cepat,
menghafal cepat, mencatat efektif, berfikir kreatif, berhitung cepat). Kedua,
untuk mengembangkan EQ pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran perlu
menyadari dan meyakini bahwa emosi itu adalah benar-benar ada dan riil serta
dapat mengelola emosi menjadi kekuatan untuk mencapai prestasi (kemampuan
intrapersonal dan interpersonal).
Mengamati
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan kedepan, maka
dunia pendidikan kita harus mampu
menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosi, kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam
setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi,
kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap untuk
pencapaian yang cerdas dan praktis.[27]
Dalam
implementasi proses pengajaran dan pembelajaran dituntut sikap kritis, kreatif,
dan inovatif, para pendidik dan peserta didik dalam upaya mengubah model
pengajaran dan pembelajaran mereka, bukan sesuai dengan kecerdasan pendidik
melainkan sesuai dengan kecerdasan peserta didik, maknanya seorang pendidik
hendaklah mampu mengkomunikasikan materi pembelajaran sesuai dengan kemampuan
peserta didik.
Tidak kalah
menariknya adalah perlunya konsep spiritual sebagai penunjang kesuksesan.
Konsep inteligensi spiritual ini tidak hanya mencakup hubungan vertikal dengan
Tuhan saja tetapi juga hubungan horisontal terhadap sesama makhluk Tuhan, jika
dinyatakan sebagai SQ, tentu ini harus dioperasionalisasikan menjadi alat ukur.
Tapi hasil pengukuran ini harus di apresiasikan secara hati-hati, karena
sifatnya sangatlah subyektif, dan agak sulit diperbandingkan seperti layaknya
satuan ukur yang lain.
Relevansinya
dengan dunia pendidikan? Dunia pendidikan sedang menggalakkan peningkatan
profesionalisme guru, dosen (pendidik) untuk meningkatkan kualitas hasil
pendidikan. Diharapkan dengan didudukkan para guru-guru dan dosen (pendidik)
dengan “inteligensi, emosi dan spiritual” yang tinggi dan stabil, akan lebih
“sukses” dalam mengelola kegiatan pembelajaran.
Organisasi
pendidikan adalah sistem yang terbuka dalam arti sangat dipengaruhi oleh
lingkungan tempatnya berada. Ketika lingkungan makin menyadari betapa
faktor-faktor etika harus menjadi perhatian disamping tujuannya sebagai
mencetak SDM, maka organisasi pun harus beradaptasi.
Sementara
sekolah dan perguruan tinggi merupakan tempat para siswa dan mahasiswa (peserta
didik) melaksanakan kegiatan proses pembelajaran, yang dapat melahirkan dan
menghasilkan SDM yang berkualitas.[28]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Di dalam diri manusia
terdapat tiga bentuk kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).IQ adalah kecerdasan yang
diperoleh melalui kreatifitas akal yang berpusat di otak, EQ adalah kecerdasan
yang yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang berpusat di dalam jiwa
dan SQ adalah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas rohani yang
mengambil lokus di sekitar wilayah roh. Di dalam hubungan Presefiktif islam
tentang IQ, EQ dan SQ adalah SQ mengajarkan
interaksi manusia dengan al-Khalik , sementara IQ dan EQ mengajarkan interaksi
manusia dengan dirinya dan alam di sekitarnya. Tanpa ketiganya bekerja
proporsional, maka manusia tidak akan dapat menggapai statusnya sebagai
"Khalifah" di muka bumi. Oleh karena Islam memberikan penekanan yang
sama terhadap " hablun min Allah " dan "hablun min al-naas
", maka dapat diyakini bahwa keseimbangan IQ, EQ dan SQ merupakan
substansi dari ajaran Islam, dan SQ merupakan Prima Causa dari IQ dan EQ.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
1.
Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spritual ESQ Emotional
Sripitual Quontient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam ,Jakarta:
Arga, 2004
2.
Agustian , Ginanjar , Ary. Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spritual ESQ Emotional
Sripitual Quontient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam
.Jakarta: Arga, 2004.
3.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model
Perbaris.Semarang, CV Asy-Syifa’, 2001.
4.
Djaali, Psikologi
Pendidikan, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008.
5.
Iskandar, Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi
Baru),.Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2009.
6.
Kasdu, Dini. Anak Cerdas A-Z Panduan Mencetak
Kecerdasan Buah Hati Sejak Merencakan Kehamilan Sampai Balita, Jakata:
Puspa Swara, 2004
7.
Mustaqim, Psikologi
Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2008.
8.
Puspasari, Amaryllia, Emotional Intelligent
Parenting: Mengukur Emotional Intelligence Anak dan Membentuk Pola Asuh
Berdasarkan Emotional Intelligent Parenting, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2009
9.
Senduk, Yacinta, Mengasah Kecerdasan Emosi Orang Tua
Untuk Mendidik Anak, Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2007
10.
Sukmadinata ,
Syaodih, Nana. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
11.
Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia KECERDASAN
SPRITUAL Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ dan EQ, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002
Sumber website:
1.
http://wulandamoslem.blogspot.com/2009/06/apa-itu-iq-eq-sq.html
2.
http://tekpenikip.wordpress.com
[1]http://wulandamoslem.blogspot.com/2009/06/apa-itu-iq-eq-sq.html
di akses 1 April 2016, Pukul 11.00 Wib
[2]Amaryllia Puspasari, Emotional Intelligent
Parenting: Mengukur Emotional Intelligence Anak dan Membentuk Pola Asuh
Berdasarkan Emotional Intelligent Parenting (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2009), h. 6.
[3]Yacinta Senduk , Mengasah
Kecerdasan Emosi Orang Tua Untuk Mendidik Anak, ( Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2007), h. 9.
[4]Ary Ginanjar Agustian, Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual ESQ Emotional Sripitual Quontient Berdasarkan 6 Rukun Iman
dan 5 Rukun Islam , ( Jakarta: Arga,
2004), h. xxxix
[5]Sukidi, Rahasia Sukses Hidup
Bahagia KECERDASAN SPRITUAL Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ dan EQ,(Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002 ), h.49.
[6]Ary Ginanjar Agustian, h. 57.
[7]Iskandar,
Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi
Baru), (Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2009), h. 58.
[8]Djaali,
Psikologi Pendidikan, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 72.
[9]Djaali.
h. 74-75.
[10]Emosi
adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; keadaan
dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan,
kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif). Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Balai Pustaka, 1990), hlm. 228.
[11]Nana
Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, PT
Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 97.
[13] iskandar.
h. 60-61.
[15]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin)
Model Perbaris, (Semarang, CV Asy-Syifa’, 2001), hlm. 901.
[16]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model
Perbaris.h . 209.
[19]Nana
Syaodih Sukmadinata, h. 95.
[20]Nana
Syaodih Sukmadinata.h. 96-97.
[22]http://tekpenikip.wordpress.com/ , di akses 2 April
2016 Pukul 2 april 2016
[23]Dini Kasdu, Anak Cerdas A-Z
Panduan Mencetak Kecerdasan Buah Hati Sejak Merencakan Kehamilan Sampai Balita,
( Jakata: Puspa Swara, 2004), h.7.
[24]http://wulandamoslem.blogspot.com/2009/06/apa-itu-iq-eq-sq.html
di akses 1 April 2016, Pukul 11.00 Wib
[25]Mustaqim,
Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2008), hlm. 152.
0 komentar:
Posting Komentar