BAB
I
PENDAHULUAN
Hadis Nabi adalah salah satu sumber ajaran Islam setelah
Al-Qur’an karna hadis Nabi memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan
Al-Qur’an, maka ulama hadis mulai zaman Nabi telah memberikan perhatian yang
khusus terhadap hadis Nabi.
Ulama sangat besar perhatiannya kepada sanad hadis.
Disamping juga matn hadis. Hal ini terlihat, sedikitnya, pada
pernyataan-pernyataan ulama yang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian
tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadis, banyak karya tulis ulama
berkenanan dengan sanad hadis, dan dalam praktek, apabila ulama
menghadapi suatu hadis, maka sanad hadis merupakan salah satu bagian
yang mendapat perhatian khusus, dengan demikian, sanad hadis memiliki
kedudukan yang sangat penting.
Sanad
hadis memiliki kedudukan sangat yang sangat penting, sebab utamanya dilihat
dari dua sisi, yaitu dilihat dari kedudukan hadis sebagai sumbar ajaran Islam
dan dilihat dari sisi sejarah hadis. Dengan demikian sangatlah penting mengkaji
mengenai sanad hadis, baik itu dalam segi persambungan sanad,
kualitas periwayat hadis maupun tata cara penerimaan dan penyampaian hadis.
Yang sedikit banyak akan dibahas dalam makalah ini.
Penulis merasa adanya kekurangan dalam pembuatan makalah
ini, baik dari segi tekhnik penulisan, pengutipan, analisis dll dan penulis
mengharapkan saran, kritik serta masukan agar makalah ini dapat diterima dan
dipahami dengan baik sebagai sebuah ilmu yang kelak nantinya akan bermanfaat
bagi kita semua. Amin
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Persambungan Sanad
Persambungan
sanad atau disebut juga dalam bahasa arab yaitu اتصال
السند adalah dua suku kata yang terdiri
dari bersambung dan sanad, kedua-duanya memiliki pengertian yang berbeda.
Bersambung (اتصال) berasal dari kata wa
shala (وصل) yang memiliki arti sampai, berkelanjutan.[1]
sedangkan sanad artinya adalah ikhbar (jalan untuk mengetahui) matan hadis.
Sebagian ahli hadis yang lain menegaskan bahwa sanad adalah jalur atau silsilah
yang menyampaikan seseorang kepada matan hadis atau dengan kata lain urutan
beberapa nama yang meriwayatkan hadis dari satu orang kepada yang lain sehingga
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.[2]
Jadi
Ittisal al-Sanad atau ketersambungan sanad atau sanad bersambung yaitu
tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat
terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari
hadits itu. Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat
yang disandari oleh al-Mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima
hadits yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatanya. Sanad
bersambung juga di defenisikan sebagai sanad yang selamat dari keguguran,dengan
kata lain bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari
guru yang memberinya.[3]
Persambungan
sanad (ittishāl al-sanad) menurut
para ulama telah menjadi salah satu rumusan kaedah kesahihan sanad hadis. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya yang menjadikan acuan kesahihan hadis (sanad
ataupun matan), rumusan yang dikemukakan oleh Ibnu al-Salāh, ataupun yang
semakna dengannya, yaitu:
اَلْحَدِيْثُ
الصَّحِيْحُ: فَهُوَ الْحَدِيْثُ
الْمُسْنَدُ
الَّذِيْ يَتَّصِلُ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَن الْعَدْلِ
الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًا وَلاَ مُعَلَّلاً.
Hadis
sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya dengan penukilan hadis dari
(periwayat yang) adil (dan) dhābit dari (periwayat yang) adil dan dhābit
(pula), (sampai jalur) terakhir (sanad)nya, dan tidak (mengandung) syāż
dan ’illat[4]
Dari
definisi diatas nampak jelas bahwa keshahihan sebuah hadis tidak lepas dari
bersambungnya sanad, oleh karena itu kedudukan sanad hadis sangat penting dalam
riwayat sebuah hadis. Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka
suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis nabi oleh seseorang, tapi berita itu
tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita itu oleh ulama hadis tidak dapat
disebut sebagai hadis.[5]
B. Aspek
Ketersambungan sanad
Tidak
selalu terdapat keseragaman pendapat para ulama mengenai konsep kebersambungan
sanad. Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah dua ulama hadits yang
kitab haditsnya didaulat sebagai kitab hadis yang paling autentik dalam
periwayatan hadits, namun demikian keduanya memiliki sedikit perbedaan pendapat
berkaitan dengan kriteria ittishalu sanad.
Menurut
Bukhari, sebuah sanad baru diklaim bersambung apabila telah memenuhi dua
kriteria, yaitu, al-liqa, yakni adanya pertautan langsung antara satu
perawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai dengan adanya sebuah aksi
pertemuan antara murid yang mendengar secara langsung dari gurunya; kedua, al-mu’asharah,
yakni terjadi persamaan hidup antara seorang guru dan muridnya, dengan kata
lain sezaman.[6]
Berbeda dengan
Muslim, yang memberikan kriteria ketersambungan sanad cukup pada kriteria mu’asharah,
dengan alasan bahwa antara satu perawi dengan perawi berikutnya begitu
seterusnya ada kemungkinan bertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang
sama sementara tempat tinggal mereka tidak terlalu jauh bila diukur dengan
kondisi saat itu. Dengan demikian Muslim merasa cukup memberikan satu kriteria mu’asharah
dengan keyakinan tersebut.
Namun demikian
dari perbedaan kriteria tersebut bukan berarti Muslim tidak memperhatikan
pertemuan antara perawi, Muslim juga memperhatikan hal tersebut meski tidak
disampaikan secara eksplisit sebagaimana Bukhari.[7]
Dari uraian di
atas menjadi jelas bahwa Bukhari lebih ketat persyaratannya dalam mengklaim
sebuah hadits memiliki ketersambungan sanad dibanding Muslim, sehingga pantas
saja dalam marotib kutub al-hadits kitab hadits yang disusun Bukhari (shahih
Bukhari) menempati kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kitab hadits
yang disusun oleh Muslim (shahih muslim).
Dalam mensyarati sebuah hadis yang
dapat dinyatakan bersambung sanadnya tidak lepas pula pada keadaaan perawi yang
mesti bersifat tsiqah dan antara masing-masing periwayat
dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sebuah sanad benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan
hadis secara sah menurut ketentuan tahammul wa adâ’ al-hadîts.[8]
Syarat pertama dapat
dilakukan dengan meneliti pribadi periwayat. Sedangkan untuk syarat yang kedua, paling tidak ada dua hal
yang terkait dengan syarat tersebut, yaitu;
1. Lambang-lambang metode periwayatan
Dalam penerimaan dan penyampaian
suatu hadis diperlukan lambang-lambang periwayatan hadis. Lambang-lambang ini
sangat terkait dengan proses tahammul wa adâ’. Proses tahammul
wa adâ’ merupakan proses transmisi hadis antara guru dengan murid. Pada
umumnya ulama membagi proses tersebut menjadi delapan macam, yaitu:
a. al-Simâ`, yaitu seorang murid mendengarkan
hadis dari gurunya, baik guru tersebut membaca dari tulisannya atau pun dari
hafalannya, sama juga guru tersebut mendiktekannya atau tidak. Cara ini adalah
cara yang paling tinggi tingkatannya dalam periwayatan hadis. Shîghat
yang dipakai dalam metode ini di antaranya : سمعت,
حدثنا, حدثنى,
أخبرنا, قال لنا.[9]
b. al-Qirâ’ah `alâ al-Syaikh, yaitu pembacaan murid kepada syaikh
(guru) dengan cara menghafalnya dari lubuk hatinya atau dari kitab hadis yang
dibaca olehnya. Apabila murid tersebut tidak membaca lewat hafalannya atau dari
kitab yang berada di tangannya akan tetapi mendengarkan dari orang lain yang
membacakan kepada syaikh, maka sesungguhnya disyaratkan kepada syaikh-nya
agar benar-benar hafal apa yang dibacakan olehnya atau dimungkinkan bagi syaikh
tersebut agar merujuk kepada kitab yang shahih yang dipegang oleh muridnya yang
lain yang tsiqah.
c. al-Ijâzah, yaitu sebuah perizinan syaikh
kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang didengarnya atau dalam kitab
hadis yang ditulisnya walaupun murid tersebut tidak pernah mendengar dari syaikh
tersebut dan belum pernah membacakan hadis tersebut kepada syaikh-nya.
Di antara lafadz dari al-ijâzah adalah:اجزت لك أن تروي عنى.
d. al-Munâwalah, yaitu pemberian syaikh
kepada muridnya sebuah kitab asli atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk
diriwayatkan. Lafadz-lafadz yang digunakan oleh periwayat dalam meriwayatkan
hadis atas dasar al-munâwalah antara lain; أنبأنى, أنبأنا, ناولنى, dan ناولنا.
e. al-Mukâtabah, yaitu sebuah tulisan seorang syaikh
(guru) yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadis
kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya (korespondensi). Contoh
lafadz al-mukâtabah adalah إليك كتبته ما لك أجزت.[10]
f. al-I`lâm merupakan pemberian sebuah kabar
dari syaikh kepada muridnya bahwa sesungguhnya kitab ini atau hadis ini
dari riwayat-riwayat syaikh tersebut atau dari hasih pendengaran (simâ`)
syaikh tersebut dengan tanpa memberikan ijâzah secara langsung
untuk memberikan ijin meriwayatkan hadis tersebut. Lafadz dari al-I`lâm yaitu
أعلمنى فلان.[11]
g. al-Washiyyah, yaitu sebuah penjelasan syaikh
kepada muridnya ketika sedang bepergian atau menjelang ajal kematiannya dengan
mewasiatkan kitab kepada seseorang yang jelas atau yang dikenal untuk
meriwayatkan hadis yang ada di kitab tersebut. Lafadz al-Washiyyah yaitu
أوصى الي
فلان.
h. al-Wijâdah, yaitu penemuan murid akan
sebuah hadis yang ditulis oleh syaikh yang telah dia jumpai dan dia
mengetahui bahwa hadis tersebut dari syaikh-nya atau belum berjumpa
dengan syaikh akan tetapi murid tersebut berkeyakinan kalau hadis yang
tertulis merupakan hadis yang shahih seperti menemukan sebagian hadis dalam
kitab yang terkenal yang ditulis oleh orang yang terkenal. Lafadz al-Wijâdah
yakni وجدت.
2. Hubungan periwayat dengan metode
periwayatannya
Keadaan periwayat dapat dibagi
kepada tsiqah dan tidak tsiqah atau dha`îf. Dalam
menyampaikan riwayat hadis, periwayat yang tsiqah memiliki tingkat
akurasi yang tinggi dan karenanya dapat dipercaya riwayatnya. Sedangkan riwayat
yang tidak tsiqah dari segi akurasinya berada di bawah riwayat yang
disampaikan oleh orang yang tsiqah.
Dalam hubungannya dengan
persambungan sanad, kualitas periwayat sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah
yang menyatakan telah menerima riwayat dengan metode sami`nâ misalnya,
walaupun metode itu diakui oleh ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang
tinggi, tetapi karena yang meyatakan lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah,
maka informasi yang dikemukakannya tetap tidak dapat dipercaya.
Dengan uraian tersebut dapatlah
dinyatakan bahwa untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, maka
hubungan antara periwayat dan metode periwayatan yang digunakan perlu diteliti
karena tadlîs masih mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh
periwayat yang tsiqah.
Selain itu untuk mengetahui
ketersambungan sanad dapat dilakukan pengeceken tahun kelahiran dan tahun wafat
antara periwayat satu dengan periwayat terdekat serta pengecekan terhadap
adanya hubungan guru dan murid. Hal ini dapat ditempuh dengan melihat biografi
para perawi melalui kitab-kitab Rijâl al-Hadîs.
C. Contoh persambungan sanad
Hadis
tentang etika memuji orang lain
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا أَبُو شِهَابٍ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلاً أَثْنَى عَلَى
رَجُلٍ عِنْدَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُ « قَطَعْتَ عُنُقَ
صَاحِبِكَ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ « إِذَا مَدَحَ أَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ
لاَ مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ إِنِّى أَحْسِبُهُ كَمَا يُرِيدُ أَنْ يَقُولَ وَلاَ
أُزَكِّيهِ عَلَى اللَّهِ »[12]
Diberitakan kepada kami Ahmad bin Yunus,
diberitakan kepada kami Abu Syihab dari Khalid al-Hadza', dari Abdurrahman bin
Abi Bakrah dari Abu Bakrah (abihi), bahwa suatu hari seseorang memuji orang
lain dihadapan Rasulullah SAW. Mendengar pujian itu, Rasulullah SAW kemudian
berkata kepada orang yang memuji: “Celaka engkau, engkau telah memotong leher
temanmu (Rasulullah SAW mengulangi ucapannya itu sampai tiga kali). Jika salah
seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, “Saya kira si
fulan demikian kondisinya”.- Jika dia menganggapnya demikian −. Adapun yang
mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah mensucikan seorang di
hadapan Allah.
·
Analisis ketersambungan sanad : Untuk
mengetahui kualitas periwayatan dan persambungan sanad, dalam hadis tersebut,
analisis penelitian akan dimulai dari Mukharrij al-hadis yaitu Imam Abu
Dawud dan seterusnya sampai periwayatan pertama.
- Abu
Dawud : Abu Dawud sebagai perawi ketujuh (mukharij) dengan sebuah lambang
periwayatannya, yaitu hadatsana
yang memiliki arti bahwa metode yang dipakai adalah al-sama'.
Maka antara Abu Dawud dengan Ahmad bin Yunus -sebagai gurunya terjadi
persambungan sanad yang diperkuat dengan adanya lambang tersebut.
Sebagaimana para kritikus menyatakan, lambang tersebut merupakan lambang
dimana Abu Dawud mendengar langsung dari gurunya, yaitu Ahmad bin Yunus.
Diantara keduanya dimungkinkan adanya mu'asarah dan liqa'.
Dengan adanya interaksi Abu Dawud dengan gurunya, Ahmad bin Yunus. Maka,
berdasarkan lambang periwayatan hadatsana periwayatan tersebut telah
memenuhi kriteria hadis shahih. Dengan demikian tidak diragukan
lagi adanya ketersambungan sanad diantara keduanya.
- Ahmad
bin Yunus : Ahmad bin Yunus sebagai perawi keenam (sanad pertama) dalam
jalur sanad Abu Dawud, yang
diketahui tahun lahirnya adalah 133 H dan wafat pada tahun 227 H.
Sedangkan gurunya yang bernama Abu Syihab al-Kufy wafat tahun 172 H.
dengan biografi tersebut dapat dinyatakan bahwa, keduanya pernah bertemu
dan hidup semasa. Sedangkan pengukuh dari pernyataan tersebut, ialah
dengan bentuk lambang yang diungkapkannya, yaitu akhbrana, berarti metode
yang dipakai adalah al-Sama'. Dengan demikian Ahmad bi Yunus telah
menerima riwayat langsung dari Abu Syihab al-Kufy, dan sanadnya dalam
keadaan bersambung.
- Abu
Syihab al-Kufy : Abu Syihab sebagai perawi kelima (sanad kedua) dalam
jalur Abu Dawud, yang diketahui tahun wafatnya adalah 172 H. sedangkan
gurunya yang bernama Khalid bin Mihran al-Hadza' wafat tahun 141 /142 H.
ditinjau dari biografi mereka dapat dinyatakan bahwa Abu Syihab menerima
riwayat dari Khalid bin Mihran al-hadza', kemungkinan keduanya pernah
saling bertemu juga hidup semasa. Kritikus menilainya dengan tsiqah dan
shaduq. Periwayatan yang digunakan oleh Abu Syihab al-Kufy adalah akhbrana,
berarti metode yang dipakai adalah al-sama'. Dengan demikian Abu
Syihab al-Kufy telah menerima riwayat langsung dari Khalid bin Mihran
al-Hadza', dan sanadnya dalam keadaan bersambung.
- Khalid
bin Mihran al-Hadza : Khalid bin Mihran al-Hadza' sebagai perawi keempat
(sanad ketiga) dalam jalur sanad Abu Dawud, diketahui tahun wafatnya
adalah 141/142 H. sedangkan gurunya, Abdurrahman bin Abi Bakrah lahir
tahun 14 H dan wafat pada tahun 96 H. lambang periwayatan yang digunakan
oleh Khalid adalah 'an, dengan menerima riwayat dari gurunya
tersebut bisa dinilai bersambung, sebab selain dari sejarah biografi juga
para kritikus memberi penilaian yang berupa tsiqah dan shaduq,
tsubut. Para ahli hadis berpendapat bahwa lambang 'an, merupakan
hadis mu'an'an. Hadis ini bisa dianggap bersambung, jika hadisnya tersebut
selamat dari tadlis dan dimungkinkan adanya pertemuan dan semasa
atau hanya semasa saja, sebagaimana syarat dianjurkan oleh Imam Muslim[13].
Adanya dua sarat yang ditegaskan oleh al-Bukhari dan Muslim serta
bersihnya sifat tadlis dari Khalid bin Mihran al-Hadza', maka dengan
demikian riwayatnya bisa diterima.
- Abdurrahman
bin Abi Bakrah : Abdurrahman bin Abi Bakrah sebagai perawi ketiga (sanad
keempat), yang diketahui bahwa tahun wafatnya 96 H. sedangkan gurunya
wafat pada tahun 51/52 H. lambang periwayatan yang digunakan Abdurrahman
bin Bakrah adalah 'an, dengan menerima riwayat dari gurunya
tersebut bisa dinilai bersambung, sebab selain ditinjau dari sisi biografi
juga para kritikus menilainya dengan tsiqah. Lambang 'an sebagaimana
pendapat diatas, bahwa hadis mu'an'an apabila disempurnakan dengan
adanya syarat liqa' dan mu'asarah serta selamat dari nilai tadlis,
maka riwayatnya bisa diterima. Dan memang Abdurrahman bin Abi Bakrah
selamat dari kritikus yang menilainya tadlis.
- Abi
Bakrah : Abi Bakrah sebagai perawi pertama (sanad kelima) dalam struktur
sanad Abu Dawud. Abi Bakrah merupakan sahabat Nabi SAW yang banyak
meriwayatkan hadis. Dia tidak diragukan lagi dalam masalah periwayatan
hadis, maka kritikus memberi penilaian tinggi. Abi Bakrah wafat tahun
51/52 H. ia termasuk golongan sahabat. Oleh karena itu ke-tsiqah-an
perawinya tidak diragukan lagi. Abi Bakrah meriwayatkan hadis Nabi SAW
dengan lafazh قال, maka sudah
pasti periwayatannya dapat dipercaya. Sehingga ada hubungan antara beliau
dengan Nabi SAW, dan tidak diragukan lagi diantara keduanya ada
ketersambungan sanad (muttasil).
Demikianlah
analisis penelitian kualitas perawi serta ketersambungan sanad. Secara
keseluruhan perawi yang meriwayatkan hadis tentang etika memuji orang lain
dalam Sunan Abu Dawud nomor indeks 4805 berkualitas tsiqah, shaduq dan
ittishal. Keseluruhan nilai jalur Abu Dawud dapat dikatakan bersambung mulai
dari mukharrij hingga sampai kepada informan pertama, yakni Rasulullah SAW.
D. Kitab-Kitab
Yang Digunakan Dalam Meneliti Ketersambungan Sanad
Banyak kitab
yang disusun oleh para ulama yang digunakan untuk meneliti ketersambungan sanad
sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Dr. Suryadi MA dan Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, M.Ag sebagai
berikut:
Kitab-kitab
yang membahas secara khusus biografi para sahabat Nabi di antaranya adalah:
Marifah man Nazala min al-Sahabah Sair al-Buldan karya al-Hasan
Ali ibn Abdullah al-Madani (w. 234. H). Usd al-Gabah fi
Marifah al-Sahabah karya Izzudin Abd al-Hasan Ali Ibn Muhammad ibn al-Asir
(555-630 H)
Kitab-kitab
yang membahas periwayat hadits yang disusun berdasarkan tabaqat
diantaranya adalah: Al-Tabaqat
al-Kubra karya Abu Abdullah Muhammad Ibn Sad Katib al-Waqidi (w.
230 H).
Tazkirah al-Huffaz karya Abu Muhammad ibn Ahmad ibn Usman
al-Zahabi (w. 748 H).
Kitab-kitab hadis
yang membahas periwayat hadits untuk kitab hadis tertentu. Di antara
kitab-kitab tersebut adalah : Al-Hidayah wa al-Irsyad fi ma’rifah ahli
Tsiqah wa Sadad karya Abu Nasr Ahmad ibn Muhammad al-Kalabazi
(w. 309 H). Kitab ini secara khusus membahas para perawi yang terdapat dalam
kitab Sahih Bukhari. Tahzib al-Kamal
karya al-Hafiz Abu al-Hajjaj Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi (w. 742 H).
Tahzib al-Tahzib karya Abu Abdullah Muhammad ibn
Muhammad ibn Ahmad al-Zahabi. Tahzib
al-Tahzib karya ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
Kitab-kitab
yang membahas kualitas para periwayat hadits yang tsiqah, dhoif lagi masih diperdebatkan.
Di antara
kitab-kitab yang masyhur adalah: Kitab al-Tsiqat
karya Abu al-Hasab Ahmad ibn Abdullah ibn Salih al-Jilli (w. 261 H). Kitab al-Tsiqat
karya Muhammad ibn Ahmad ibn Hibban al-Busti (w. 354 H).
Al-Duafa al-Kabir karya al-Bukhari. Kitab al-Duafa karya Abu
Jafar Muhammad ibn Amr al-Uqali (323 H). Al-Kamil fi
Duafa al-Rijal karya Abu Ahmad Abdullah ibn Adi al-Jurjani (w.356 H).
Mizan al-Itidal fi Naqd al-Rijal karya al-Zahabi. Lisan al-Mizan karya Ibn Hajar al-Atsqalani.
Kitab-kitab
yang membahas periwayat hadits berdasarkan negara asal mereka,
diantaranya adalah : Tarikh Wasit karya Abu
al-Hasan Aslam ibn Sahl (w. 288H). Mukhtasar
Tabaqat Ulama Ifriqiyyah wa Tunis karya Abu Arab Muhammad Ahmad al-Qiruwani
(w. 333 H). Tarikh
al-Riqqah karya Muhammad ibn Saad al-Qusyairi. Tarikh Naisabur karya
Muhammad ibn Abdillah al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H). Tarikh Baghdad karya Abu Bakr
Ahmad ibn Ali ibn Sabit ibn Ahmad al-Baghdadi al-Khatib (w. 493 H). Tarikh Dimasyq karya Abu
Al-Qasim Ali ibn al-Husain ibn Asakir al-Dimisyqi (w. 571 H).
Kitab-kitab
yang membahas illah hadis :
Ilal al-Hadis karya ibn Abi Hatim
al-Razi (w. 328 H).
Kitab-kitab
yang ditulis berdasar nama-nama, kunyah-kunyah, laqab-laqab dan
nasab-nasab, diantaranya adalah : Al-Asami wa al-Kuna karya Ali ibn
Abdillah ibn Jafar al-Madini (w. 234 H). Al-Kuna karya Abdul Rahman ibn Abi
Hatim al-Razi. Al-Mutalif wa
al-Mukhtalif fi Asma Naqalah al-hadits karya Abu
Muhammad Abd al-Gani ibn Said al-Asadi al-Misri (w. 409 H). Al-Ikmal fi Raf
al-irtiyab an al-Mutalif wa al-Mukhtaklif min al-Asma wa al-Kuna wa al-Ansab karya Abu Nasr
Ali ibn Hibatillah ibn Jafar ibn Makul al-Baghdadi (w. 486 H). Ma Ittafaq min
Asma al-Muhaddisin wa Ansabuhum Gaira Anna fi Badih Ziyadah Harf Wahid karya Abu Bakr
Ahmad ibn Ali ibn Sabit al-Baghdadi (w.463 H). Al-Ansab al-Muttafaqah fi al-Khatt
al-Mutamasilah fi al-Naqt wa al-Dabt karya Muhammad ibn Tahir al-Maqdisi (w.
507 H). Al-Lubab karya Ali ibn Muhammad al-Syaibani
al-jazari (w. 630 H).[14]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kriteria hadits sahih meliputi ketersambungan
sanad, perawi yang adil dan dhabit, bebas dari syadz dan illat baik
pada sanad ataupun matan.
Ketersambungan sanad adalah adanya
keterkaitan antara satu periwayat dengan periwayat yang lain, baik itu dari
segi penyampain ataupun penerimaan hadis agar sebuah hadis dapat diklaim
benar-benar datang dari Nabi Muhammad SAW.
Ada beberapa langkah dalam meneliti
ketersambungan hadis adalah diantaranya adalah dengan mencatat nama semua
periwayat di dalam sebuah hadis lalu melihat biografi sejarah hidup mereka
serta mengaitkan adakah keterkaitan diantara mereka seperti guru dan murid.
B. Saran
Dalam
melakukan penilitian ini kiranya betul-betul mendalami ilmu-ilmu berhubungan
denganya seperti ilmu rijal hadis, ilmu jarh wa at ta’dil dan ilmu thabaqat
agar mendapatkan suatu pengetahuan yang jelas dan tidak tersalah.
[1]
Ahmad Warsono Munawwir, Kamus Al-
Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya, Pustaka Progressy:1997), hlm.1562
[2]
Abdul Karim Zaidan, Ulum al-Hadis, (Beirut: Muassasah Risalah
al-Nâsyirun, Cet. l, 2008), hlm. 47.
[3] Facktur Rahman, Ikhtisar
Mustalahul Hadis, (Bandung:PT Alma’arif), hlm.117.
[4] Abū ‘Amr ‘Usmān bin ‘Abd al-Rahman
Al-Syahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Shalāh fī ‘Ulūm al-Hadīs (Beirūt: Dār
al-Kutub al-’Ilmiyah,1995), hlm. 15.
[5] M Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007), cet 2, hlm 21.
[6] Umi Sumbulah, Kritik Hadis
Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm.45.
[7]Umi Sumbulah, Kritik Hadis
Pendekatan Historis Metodologis, hlm 45-46.
[9] Shubhî al-Shâlih, Ulûm
al-Hadîts wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-`Ulûm al-Malâyîn,
1988), hlm. 88-90.
[10] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, hlm. 247.
[11] Shubhî al-Shâlih, Ulûm
al-Hadîts wa Mushthalahuh, hlm. 99.
[12] Abu Dawud Sulaiman al-Asy'ats
al-Sijistany, Sunan Abu Dawud, juz
3 (Bairut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1996), 259.
[13] Teungku Muhammad Habsi
al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT.Pustaka Rizki
Putra, 1999), hal 200.
[14] Suryadi, dan Muhammad Alfatih
Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: TH Press,
2009), h 117-123.
0 komentar:
Posting Komentar